I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sekolah merupakan sarana yang
secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Tugas pendidikan adalah
memanusiakan manusia. Manusia yang berpotensi itu dapat berkembang kearah yang
baik, tetapi dapat pula berkembang ke arah yang tidak baik. Karena itulah
dilakukan berbagai usaha yang disadari sepenuhnya dan dirancang secara
sistematis agar perkembangan itu menuju arah yang baik. Untuk itu diperlukan
sekolah sebagai sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan
pendidikan. Di sekolah dalam menjalankan pendidikan tidak lepas dari yang
namanya proses kegiatan belajar mengajar yang terdiri antara pendidik dan siswa
( peserta didik ), di dalam proses belajar mengajar itu terjadi interaksi yang
sifatnya saling mempengaruhi demi tercapainya suatu pengajaran yang baik.
Pengajaran yang baik yakni pengajaran yang
secara serentak memberi peluang tujuan intruksional bidang studi dan
tujuan-tujuan umum lainnya. Dalam upaya mewujudkan pengajaran yang baik, perlu
diketahui bahwa setiap keputusan dan tindakan dalam rangka kegiatan belajar
mengajar akan membawa dampak atau efek kepada siswa, misalnya saja sikap dan
perilaku guru yang tidak bersahabat, galak, judes, dan kurang berkompeten yang
dimana hal tersebut dapat menyebabkan pemicu timbulnya kecemasan pada diri
siswa. (Tirtarahardja, Umar. 2005: 173)
Kecemasan merupakan salah satu
aspek penghambat siswa dalam segi psikologis maupun fisiologis. Kecemasan
merupakan kekuatan pengganggu utama yang mengahambat perkembangan hubungan interpersonal
yang sehat. (Feist, Jess & Feist, Gregory J. 2010: 260). Sullivan (1953)
dalam Feist, Jess & Feist, Gregory J. 2010 : 52 menyatakan bahwa kecemasan
ditransfer dari orang tua ke anak melalui proses empati. Kecemasan membuat
manusia tidak mampu belajar, merusak ingatan, menyempitkan sudut pandang, dan
bahkan dapat menyebabkan amnesia total. Ketika ketegangan menghasilkan tindakan
yang secara khusus diarahkan
untuk mencapai perasaan lega, kecemasan menghasilkan perilaku yang (1) mencegah
manusia untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri, (2) membuat orang tetap
mengejar keinginan kekanak-kanakan demi rasa aman, (3) secara garis besar
memastikan bahwa manusia tidak akan belajar dari pengalaman mereka. Kecemasan
lebih berorientasi masa depan dan bersifat umum, mengacu pada kondisi ketika individu
merasakan kekhawatiran, kegelisahan, ketegangan, dan rasa tidak nyaman yang
tidak terkendali mengenai kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk. Orang
yang mengalami kecemasan dilanda ketidak mampuan menghadapi perasaan cemas yang
kronis dan intens, perasaan tersebut sangat kuat sehingga mereka tidak mampu
berfungsi dengan baik. (Halgin, Richard P & Withbourne, Susan Krouss. 2010: 198).
Menurut Corey (Corey, Gerald. 2003 : 17), ada
tiga macam kecemasan yaitu kecemasan realistis, kecemasan neurotik, dan
kecemasan moral. Kecemasan realistis adalah ketakutan terhadap bahaya dan dunia
eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada.
Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri
yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang bisa mendatangkan
hukuman bagi dirinya. Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani
sendiri. Orang yang hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa
apabila dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang
dimilikinya.
Sekolah tidak lepas dari kegitan belajar
mengajar yang dilakukan oleh pendidik kepada siswanya dan sekolah juga tidak
lepas dari kegiatan ujian sekolah yang berupa ulangan semesteran atau kenaikan
kelas yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses
belajar mengajar. Ujian merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilaksankan dalam
rangka mengukur penguasaan materi yang telah diberikan dalam waktu jangka
tertentu. (Djamarah, Syaiful Bahri. 2008: 110). Ujian sekolah yang berupa
ulangan semesteran atau kenaikan kelas akan diberikan kepada siswa oleh sebab
itu siswa harus mengetahui bahwa ujian sekolah yang berupa ulangan semesteran
atau kenaikan kelas merupakan suatu kurikulum yang telah ditetapkan oleh
sekolah. Dengan kata lain seluruh siswa siap atau tidak siap akan
menghadapinya. Sebagian siswa ada yang siap untuk menghadapinya tetapi siswa
tersebut selalu merasa dirinya tidak mampu untuk melewatinya dan ada juga siswa
yang tidak siap yang menghadapinya, sehingga hal tersebut menyebabkan timbulnya
kecemasan pada diri siswa.
Kecemasan bukan hanya terjadi kepada siswa yang
memiliki kecerdasan rendah tetapi juga bisa terjadi kepada siswa yang memiliki
kecerdasan tinggi, hal ini disebabkan karena berpikiran bahwa ujian sekolah
yang berupa ulangan semesteran atau kenaikan kelas merupakan penentu
keberhasilan meraka, maka tidak jarang ketika melaksanakan ujian atau ulangan
kenaikan tersebut meraka merasa gugup atau nerves dan merasa takut apabila
meraka tidak bisa menjawab soal yang diberikan, maka hal itulah salah satu
timbulnya pemicu kecemasan.
Menanggapi kenyataan di atas sudah sepantas dan
selayaknya seluruh personel sekolah (guru, konselor dan kepala sekolah)
khususnya konselor bekerja sama dalam mengatasi permasalah yang dialami siswa
diatas. Berbagai upaya yang bisa dilakukan oleh konselor sekolah dalam mengatasi
permasalahan tersebut, salah
satunya dengan melakukan konseling individual dengan menggunkan teknik systematic desensitization yang
dikembangkan oleh Wolpe dalam mengatasi kecemasan. Teknik systematic desensitization bermaksud agar konseli untuk memberikan
respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli. (Willis, Sofyan
S. 2004: 71). Dengan menggunakan
relaksasi konselor berupaya membantu siswanya. Relaksasi merupakan teknik yang
betujuan agar konseli merasa rileks dan tenang dari keadaan sebelumnya yang
mempunyai tahapan yang dijelaskan dalam
kaijan pustaka. (Fauzan, Lutfi. 2008: 4)
Layanan konseling individual atau
perorangan yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta
didik yang mendapatkan layanan langsungsecara tatap muka (face to face) dengan guru pembimbing atau konselor dalam rangka
pembahasan dan pengentasan permasalahannya. (Sukardi, Dewa Ketut 2008: 63). Konseling
individual atau perorangan bersifat holistic dan mendalam serta menyentuh
hal-hal penting tentang diri konseli, tetapi juga bersifat spesifik menuju
kearah pemecahan masalah sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui konseling
individual atau perorangan konseli akan memahami dirinya sendiri,
lingkungannya, permasalahan yang dialami, kekuatan dan kelemahan dirinya, serta
kemungkinan upaya untuk mengatasi masalahnya. (Tohirin. 2007: 164). Layanan
konseling individual atau perorangan merupakan bentuk layanan yang paling utama
dalam pelaksanaan fungsi pengentasan masalah konseli. Dengan kata lain layanan
konseling individual atau perorangan dalam pelaksanaannya menuntut persyaratan
dan mutu usaha yang sungguh-sungguh. (Soeparman. 1998: 58)
Berdasarkan fakta realita
dilapangan yang diperoleh dari hasil interviu terhadap salah satu siswa dan
interviu terhadap mahasiswa bimbingan konseling yang sudah pernah melaksanakan
PPL di SMA Negeri 1 Banjarmasin masih ada siswa yang mengalami kecemasan berupa
ketegangan ketika melaksanakan ulangan semester. Harapan dalam penelitian ini adalah
bahwa dalam pelaksanaan layanan konseling individual atau perorangan di SMA
Negeri 1 Banjarmasin hendakanya para konselor sebelum melaksanakan layanan
konseling individual atau perorangan tersebut harus terlebih dahulu
memperhatikan dan memahami secara sungguh-sungguh tahapan-tahapan serta
tekhnik-tekhnik dan pendekatan serta teori
yang harus dilakukan oleh seorang konselor dalam pelaksanaan layanan
konseling individual atau perorangan tersebut, dengan cara membaca kembali buku
pedoman tentang teknik pelaksanaan layanan konseling individual dan
memahaminya, agar konseli dapat merasakan manfaat dari layanan yang diberikan. Berdasarkan
permasalah di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Keefektifan Teknik Konseling
Systematic Desensitization Dalam Mengatasi Kecemasan Siswa Kelas X Terhadap
Ujian Sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin ”.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana tingkat kecemasan
siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin sebelum/pra diberikan
teknik systematic desensitization ?
2.
Bagaimana tingkat
kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin setelah/post
diberikan teknik systematic
desensitization ?
3.
Bagaimana teknik systematic desensitization efektif
mengatasi kecemasan siswa di SMA Negeri
1 Banjarmasin ?
C.
Batasan
Masalah
Agar masalah yang diteliti lebih
terarah pada hal-hal sekitar permasalahan dan sasaran yang dimaksud, maka masalah yang akan dibahas
pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana gambaran
tingkat kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin
sebelum/pra diberikan teknik systematic
desensitization
2.
Bagaimana gambaran
tingkat kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin
setelah/post diberikan teknik systematic
desensitization
3.
Bagaimana gambaran
teknik systematic desensitization
efektif mengatasi kecemasan siswa di SMA
Negeri 1 Banjarmasin.
D.
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk mengetahui
gambaran tingkat kecemasan pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin
sebelum diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization.
2.
Untuk mengetahui
gambaran tingkat kecemasan pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin
setelah diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization.
3.
Untuk mengetahui
korelasi keefektifan teknik systematic
desensitization dalam mengatasi kecemasan siswa terhadap ujian sekolah.
E.
Kegunaan
dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi semua pihak, terutama pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Adapun pihak-pihak yang dimaksud yakni
sebagai berikut :
1.
Kepala Sekolah
Sebagai informasi
tambahan dalam melakukan pengawasan terhadap konselor dalam melaksanakan
kegiatan layanan konseling individual.
2.
Guru Mata Pelajaran
Sebagai bahan informasi
tambahan guna meningkatkan kualitas pengajaran agar mencapai hasil yang
optimal, serta menyampaikan informasi kepada siswa bahwa konselor juga dapat
menjalin kerjasama dengan guru mata pelajaran guna membantu siswa dalam
mengentaskan masalahnya dalam bentuk layanan konseling individual.
3.
Konselor Sekolah
Sebagai bahan informasi
untuk memilih layanan yang mana yang tepat untuk mengetahui siswa lebih
mendalam guna membantu mengentaskan masalah yang dihadapi.
4.
Siswa
Sebagai bahan informasi
yang berguna bagi siswa untuk memahami maksud dan tujuan dari pemberian layanan
oleh konselor, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
5.
Peneliti
Digunakan untuk
menambah ilmu pengetahuan sebagai hasil dari observasi secara langsung mengenai
masalah layanan konseling individual, guna peneliti kelak dapat memberikan layanan
yang optimal sesuai dengan kebutuhan siswa.
6.
FKIP Unlam
Sebagai bahan informasi
data ilmiah guna mengembangkan ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan serta
menjadi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
F.
Definisi
Opersasional
1.
Konseling
Konseling merupakan
salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan, di mana proses pemberian bantuan
itu berlangsung melalui wawancara atau interviu dalam serangkaian pertemuan
langsung dan tatap muka antara guru pembimbing (konselor) dengan konseli
(klien). (Asmani, Jamal Ma’mur. 2010: 37)
2.
Teknik Systematic Desensitization
Systematic
Desensitization merupakan teknik yang digunakan
untuk mencegah respon ketakutan dan mengganti respon ketakutan tersebut melalui
aktivitas lain. Teknik ini diberikan dengan menggunakan metode relaksasi,
dimana dalam metode ini ada tiga tahapan yang akan dilakukan yaitu tahap
relaksasi, tahap pengembangan hirarki kekhawatiran dan tahap penggunaan teknik systematic desensitizitation.(Fauzan, Lutfi.
2008: 5)
3.
Kecemasan adalah suatu pengalaman
perasaan menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam
alat-alat intern tubuh. (Hall, Calvin S. 1995: 56)
4.
Ujian adalah suatu
kegiatan yang mutlak dilaksanakan dalam rangka mengukur penguasaan materi yang
telah diberikan dalam jangka waktu tertentu. (Djamarah, Syaiful Bahri. 2002 :
126)
5.
Siswa merupakan subjek
yang diberikan bimbingan yang memiliki potensi fisik dan psikis yang
khas. (Tirtarahardja, Umar .2005: 51 )
6.
Keefktifan adalah suatu
ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas, waktu) yang
telah tercapai. ( Artati, Y. Budi. 2010 : 38)
II.
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Konseling
Individual
1.
Pengertian
Konseling Individual
Layanan
konseling merupakan layanan untuk membantu individu menyelesaikan
masalah-masalah, terutama masalah
pribadi
yang mereka hadapi. Layanan ini bersifat terapeutik dan hanya dapat diberikan
oleh pembimbing yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang bimbingan dan
konseling atau psikolog. (Nurihsan, Achmad Juntika & Sudianto, Akur. 2005:
20). Konseling merupakan bentuk khusus dari usaha bimbingan, yaitu suatu
pelayanan yang diberikan oleh konselor kepada seseorang secara perseorangan
atau kelompok. (Sukardi, Dewa Ketut, & Kusmawati, Nila. 2008: 6). Konseling
memegang peranan penting dalam bimbingan, sering disebut sebagai jantungnya
bimbingan (counseling is the heart of
guidance), konseling sebagai inti bimbingan (counseling is the core of guidance), konseling sebagai pusatnya
bimbingan (counseling is the centre of
guidance). Sebab dikatakan jantung hati, inti, atau pusat karena konseling
ini merupakan layanan atau teknik bimbingan yang bersifat terapeutik atau
bersifat menyembuhkan (curative).
(Hikmawati, Fenti. 2010: 2-3)
Layanan
konseling individual atau perorangan adalah layanan bimbingan dan konseling
yang memungkinkan peserta didik yang mendapatkan layanan langsung secara tatap
muka dengan guru pembimbing atau konselor dalam rangka pembahasan dan
pengentasan permasalahannya. (Sukardi, Dewa Ketut. 2008: 63). Layanan konseling
individual atau perorangan yaitu layanan
bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien/konseli)
mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru
pembimbing (konselor) dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahan
pribadi yang dideritanya. Layanan konseling perorangan memungkinkan siswa (konseli) mendapatkan layanan langsung secara
tatap muka dengan guru pembimbing (konselor) dalam rangka pembahasan dan
pengentasan permasalahannya. Fungsi utama bimbingan yang didukung oleh
pelayanan konseling perorangan atau individual ialah fungsi pengentasan.
(Sukardi, Dewa Ketut & Kusmawati, Nila. 2008: 62)
2.
Pengertian
Teknik Systematic Desensitization
Desensitisasi sistematik (systematic desensitization) dikembangkan
dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi
dasar teknik ini adalah respon
ketakutan merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan
menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut.
Respon khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment)
ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan dan
respon sering dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau
penanganan. Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu,
hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut
menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatiran. Pembongkaran
bertahap atau berangsur terhadap rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di
dalam fantasi orang tersebut ketika dia diminta membayangkan situasi yang serba
menakutkan atau hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Wolpe
mengistilahkan prinsip yang mendasari proses ketidakpekaan tersebut dengan reciprocal inhibition. Dia menjelaskan
prinsip dasar tersebut sebagai berikut: “Jika respon inhibitori terhadap
kekhawatiran dapat dipaksa terjadi di keberadaan rangsang kekhawatiran, hal
tersebut akan melemahkan hubungan antara rangsangan-rangsangan tersebut dan
respon kekhawatiran”. (Fauzan, Lutfi. 2008: 4-5)
3.
Tujuan
Teknik Systematic Desensitization
Teknik
desensitisasi sistematik ini bertujuan
untuk mengajar klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan
yang dialami. (Willis, Sofyan S 2004: 71)
Teknik
systematic desensitizitation juga bertujuan untuk mengajarkan klien untuk
memindahkan respon ketakutan kepada aktivitas lainnya, membongkar rangsangan
stimulus yang berlangsung dalam fantasi. (Fauzan, Lutfi 2008: 4)
4.
Prosedur
Praperlakuan
Sebelum
memulai langkah utama penerapan prosedur desensitisasi sistematik, konselor
terlebih dahulu melakukan pendahuluan. Tiga hal pokok yang dijadikan sasaran
pada setiap tahapan awal proses konseling, yaitu pembinaan hubungan konselor-konseli,
penstrukturan, dan penjajagan masalah konseli.
a.
Wawancara Awal
Konselor pertama-tama
harus mengidentifiksi ketakutan konseli atau phobia dan latar belakang
peristiwa yang menyebabkan ketakutan tersebut muncul. Hal ini dilakukan dalam
situasi yang menyenangkan dengan konseli, memahami kesulitan konseli dan secara
tulus mengerti kesejahteraan konseli. Konselor harus menyelediki secara
menyeluruh sejarah kehidupan konseli untuk membuat yakin konselor dalam
memahami secara jelas seluruh aspek ketakutan konseli dan berbagai faktor yang
mendukung ketakutan atau fobia tersebut. Wawancara juga akan mendukung konselor
atau menyangkal berbagai hipotesis tentang masalah konseli, mengkhususkan
tujuan konseling, menentukan metode pengurangan ketakutan yang paling tepat
untuk konseli dan apakah treatment
obyektif dapat dicapai dengan pembatasan pada sejarah kehidupan konseli. Oleh
karena itu wawancara awal mungkin akan berlangsung lebih dari sekali pertemuan,
meskipun tidak ada pendekatan standar tentang pertanyaan yang digunakan dalam
wawancara tersebut.
b.
Identifikasi Sasaran
Perilaku
Upaya ini akan membantu
konseli mengidentifikasi apa yang sebenarnya mengganggunya tetapi juga
menentukan macam situasi dan dalam keadaan macam apa kecemasan terjadi.
Konselor menanyakan lamanya konseli mempunyai kecemasan, apakah lebih buruk
atau lebih baik dari biasanya dan menanyakan pendapatnya tentang perasaannya
terhadap kecemasan.
c.
Keterangan latar
belakang konseli secara umum
Diskusi memusatkan pada
tanggal dan tempat lahir konseli, jumlah dan umur saudaranya, kedudukan konseli
dalam silsilah keluarga, catatan restropektif macam atau jenis
hubungan konseli dengan saudaranya, orang tua dan orang lain ketika tumbuh
dewasa. Penyelidikan diarahkan kepada anak mana yang disenangi di keluarga,
begitu juga bagaimana konseli melihat sikap ketika dia diperlakukan oleh tiap
anggota keluarganya dibandingkan dengan perlakuan terhadap anak-anak yang lain.
Konselor juga harus mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan lainnya seperti siapa
dalam keluarga yang menekankan disiplin, bagaimana konseli dihukum karena
kenakalannya sewaktu anak-anak dan remaja dan sifat-sifat yang bagaimana pada
tiap orang tua yang disukai dan paling tidak disukai oleh konseli. Hal ini juga
sangat penting untuk mengetahui sikap atau tingkah laku orang tua dalam
berinteraksi dengan orang lain dan menentukan macam model peraturan yang
diberlakukan untuk konselinya.
d.
Informasi Sekolah atau
Pekerjaan
Penyelidikan mengenai
sekolah konseli harus mencakup tentang
kesukaan dan ketidaksukaan konseli di sekolah dasar, sekolah menengah, dan
perguruan tinggi. Mata pelajaran apa yang paling disukai dan paling tidak
disukai; apa yang sering dilakukan konseli setelah pulang sekolah; kegiatan
ekstrakurikuler apa yang diikuti konseli dan sebagainya. Konselor juga harus
mendiskusikan hubungan konseli di dalam lingkungan sekolah dan luar sekolah.
e.
Informasi Pacaran
Konselor harus memeriksa pola pacaran konseli
selama remaja, karena topik-topik tersebut sangat sensitif untuk dibahas dalam
rangka berpikir positif yang dapat
memberikan pemahaman dan penerimaan pada diri konseli. (Fauzan, Lutfi. 2008:
5-9)
5.
Prosedur
Teknik Desensitization
Ada
tiga langkah utama dalam penggunaan desensitisasi sistematik, yaitu latihan
relaksasi, pengembangan hierarki kekhawatiran dan penggunaan desensitisasi
sistematik yang tepat. (Fauzan, Lutfi. 2008: 25)
a.
Latihan Relaksasi
1)
Tarik nafas dalam-dalam
dan tahan selama 10 detik kemudian lepaskan. Biarkan lengan Anda dalam posisi
di atas paha atas lepas begitu saja.
2)
Angkat tangan Anda
kira-kira separuh sofa (atau pada sandaran kursi) kemudian berbafaslah secara
normal. Letakkan tangan Anda di atas sofa
3)
Sekarang pegang lengan
Anda lalu kepalkan dengan kuat. Rasakan ketegangannya dalam hitungan sampai tiga dan pada hitungan yang
ketiga letakkan tangan Anda.
4)
Angkat tangan Anda
kembali, tekuk jemari Anda ke belakang (ke arah tubuh Anda). Sekarang letakkan
tangan Anda dan tenanglah.
5)
Angkat tangan Anda
sekarang, letakkan kemudian rileks
6)
Sekarang rentangkan
lengan Anda dan tegangkan otot bisep anda yakinlah bahwa Anda bernafas normal
setelah itu rileks.
7)
Putar kepala anda ke
kanan, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi pertama.
8)
Putar kepala anda ke
kiri, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi pertama.
9)
Bengkokkan kepala
sedikit ke belakang, tahan lalu kembali ke posisi semula.*
10) Tunduk
kepala kebawah sampai hampir menyentuh dagu menyentuh dada, tahan kemudian rileks
dan kembali ke posisi semula.*
11) Tarik
nafas dalam-dalam, tahan, hembuskan keluar kemudian rileks (perhatikan perasaan
lapang saat kamu menghembuskan nafasmu)
12) Sekarang
laayangkan pikiran anda ke suasana yang paling anda suka dan mudah membawa anda
ke suasana tenang. Nikmati , betapa anda bahagia berada dalam suasana itu.
13) Rasakan
bahwa ketenangan telah menjalar dan merasuk ke seluruh tubuh dan jiwa anda
14) Setelah
beberapa saat bukalah mata anda, dan tetap rasakan suasana nyaman dan
ketenangan diri anda.
Catatan
: Diadapatasi dari Jacobson (1938), Rimm (1967, komunikasi pribadi), dan Wolpe
dan Lazarus 1966
*Konseli
jangan dipaksa untuk membengkokkan lehernya ke segala arah baik kedepan maupun
kebelakang.
(Fauzan, Lutfi. 2008:
51-54)
b.
Pengembangan Hierarki
Kekhawatiran
Dalam penyelasaian
wawancara awal dan lama relaksasi para konselor mulai merencanakan hierarki
kekhawatiran dengan konseli untuk setiap kecemasan yang diketahui. Hierarki ini
didasarkan pada kecemasan yang telah disepakati konselor dan konseli sebagai perubahan
yang diinginkan dan treament yang
dilakukan konselor. Pada sesi akhir relaksasi yang pertama, konseli diberi
kartu indeks sistem pencatatan perlakuan dan diminta untuk datang kembali
mengisi kartu tersebut yang masing-masing berisi gambaran yang menyebabkan
kecemasan sampai tingkat tertentu.
c.
Penggunaan
Desensitisasi Sistematik Yang Tepat
Tahap desensitisasi
pertama dimulai dengan membiarkan
konseli menenangkan dirinya di sofa atau kursi reclining kira-kira 3-5 menit. Selama waktu tersebut konselor menganjurkan
konseli bahwa ia telah lebih rileks dan telah mencapai tingkat relaksasi yang lebih
dalam lagi.konseli juga diminta untuk mengindikasi, dengan mengangkat jari telunjuk
tangannya, disaat ia mencapai kondisi sangat tenang dan nyaman. Setelah konseli
memberi syarat konselor memintanya untuk memvisualisasikan beberapa suasana kecemasan yang di alami.
Konselor meminta membayangkan tiap-tiap suasana yang jelas dan nyata. Jika
konseli merasakan sedikit lebih cemas atau tegang ketika dia membayangkan suasana
tertentu, dia akan diberitahu secaepatnya dengan jari tangan. Pada titik ini
konselor meminta konseli untuk mengindikasikan dengan menggunakan jari telunjuk
jika dia masih merasa sangat tenang dan rileks. Jika konseli memberi tanda
konselor menghadirkan pengendali situasi. Setelah situasi terakhir disajikan
pada tahap tertentu, konselor meminta konseli untuk tetap rileks beberapa saat.
Kemudian konselor memulai fase terakhir dengan mengatakan : “Tenang saja, rasakan
perasaan nyaman
dan senang. Saya ingin anda mempertahankan kondisi ini sampai saya hitung
sampai hitungan ke lima. Ketika saya sampai pada hitungan ke lima saya ingin
kamu membuka mata dan merasaklan perasaan sangat tenang dan senang. (jeda) Satu
rasakan perasaan tenang, Dua tenang, Tiga sangat gembira empat dan lima”. (Fauzan,
Lutfi. 2008: 24-35)
B.
Kecemasan
1.
Pengertian
Kecemasan
Kecemasan
adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh
ketegangan-ketegangan dalam alat-alat interen dari tubuh. Ketegangan-ketegangan
ini adalah akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai
oleh susunan urat saraf yang otonom. Kecemasan berbeda dari keadaan-keadaan
yang menyakitkan lainnya, seperti ketegangan, rasa nyeri, dan kesayuan oleh
adanya satu keadaan tertentu pada alam sadar. (Hall, Calvin S. 1995: 56-57). Dalam kehidupan sekarang ini sering dikatakan
“age of anxiety” abad kecemasan.
Tetapi sepanjang sejarah kehidupan manusia, terjadi kecemasan. Kecemasan adalah
merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kecemasan, dijelaskan oleh Abe Arkoff
sebagai berikut: Anxiety as a state of
arousal caused by threat to well-being.
Act
|
conflict
|
Goal
|
anxiety
|
frustration
|
|
Jadi, kecemasan adalah
suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan.
(Sundari, Siti. 2005: 50-51). Individu-individu yang tergolong normal
kadangkala mengalami kecemasan yang menampak, sehingga dapat disaksikan pada
penampilan yang berupa gejala-gejala fisik maupun mental. Gejala tersebut lebih jelas pada
individu yang mengalami gangguan mental lebih jelas lagi bagi individu yang
mengidap penyakit mental yang parah. Kecemasan terjadi karena individu tidak mampu mengadakan
penyesuaian diri terhadap diri sendiri di dalam lingkungan pada umumnya.
Kecemasan itu timbul karena manifestasi perpaduan bermacam-macam proses emosi,
misalnya orang sedang mengalami frustasi dan konflik. Kecemasan yang disadari
misalnya rasa berdosa. Kecemasan diluar kesadaran dan tidak jelas misalnya
takut yang sangat, tetapi tidak diketahui sebabnya.
Kecemasan
atau anxiety merupakan salah satu
bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu,
biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan
intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi,
tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan
menimbulkan kerugian dan dapat menganggu terhadap keadaan fisik dan psikis
individu yang bersangkutan.(http://akhmadsudrajat.Wordpress.com,
diakses 16 maret 2011).
Anxiety
atau kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan adalah
respon yang tepat terhadap ancaman,
tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan
proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu bila
bukan merupakan respon terhadap perubuahan lingkungan. Dalam bentuknya yang
ekstrem, kecemasan dapat menganggau fungsi kita sehari-hari.(Rathus, Spencer A.
2005: 163). Dari teori kecemasan, menurut teori
Interpersonal dikatakan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan
antar individu, sehingga menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak
berharga. ( http:// Perawatpsikiatri.blagspot.com. 24 desember 2010)
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah sesuatu pengalaman
subjektif mengenai ketegangan mental, kesukaran dan tekanan sebagai, kesedihan,
ketakutan, dan kegelisahan tentang masalah atau perasaan sakit yang sudah
diantisipasi atau yang akan dialami di masa mendatang.
2.
Faktor
– Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
a.
Pengalaman negatif pada masa
lalu
Pengalaman
ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa
yang dapat terulang lagi pada mas mendatang, apabila individu tersebut
menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak menyenangkan,
misalnya pernah gagal dalam tes. Hal tersebut merupakan pengalaman umum yang
menimbulkan kecemasan siswa dalam menghadapi tes.
b.
Pikiran yang tidak rasional
Ellis
dalam Adler dan Rodman (1991) member daftar kepercayaan atau keyakinan
kecemasan sebagai contoh dari pikiran tidak rasional yang disebut buah
kesempurnaan, persetujuan, dan generalisasi yang tidak tepat.
1)
Kegagalan Katastropik
Kegagalan
katastropik, yaitu adanya asumsi dari diri individu bahwa akan terjadi sesuatu
yang buruk pada dirinya. Individu mengalami kecemasan dan perasaan
ketidakmampuan serta tidak sanggup mengatasi permasalahannya.
2)
Kesempurnaan
Setiap
individu menginginkan kesempurnaan. Individu ini mengharapkan dirinya
berperilaku sempurna dan tidak ada cacat. Ukuran kesempurnaan dijadikan target
dan sumber inspirasi bagi individu tersebut.
3)
Persetujuan
Persetujuan
adanya keyakinan yang salah didasarkan pada ide bahwa terdapat hal virtual yang
tidak hanya diinginkan, tetapi juga untuk mencapai persetujuan dari sesama
teman atau siswa.
4)
Generalisasi yang tidak tepat
Keadaan
ini juga memberi istilah generalisasi yang berlebihan. Hal ini terjadi pada
orang yang mempunyai sedikit pengalaman.
Secara
umum faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan adalah faktor internal
dan factor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat religiustas yang rendah,
rasa pesimis, takut gagal, pengalaman negatif masa lalu, dan pikiran-pikiran
tidak rasional. Sementara eksternal seperti kurangnya dukungan sosial. (Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010: 145-147)
3.
Macam-Macam
Kecemasan
Freud mengemukakan ada
tiga jenis kecemasan, yaitu:
a.
Kecemasan Realitas (Reality Anxiety)
Kecemasan realitas ( reality anxiety) merupakan kecemasan
individu akibat dari ketakutan mengahadapi realitas sekitarnya. Kecemasan
tentang kenyataan adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat pengamatan
suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya adalah setiap keadaan dalam lingkungan
seseorang yang mengancam untuk mecelakakannya.
b.
Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)
Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) merupakan kecemasan
karena khawatir tidak mampu mengatasi atau menekan keinginan-keinginan
primitifnya. Kecemasan neurotis ditimbulkan oleh suatu pengamatan tentang
bahaya dari naluri-naluri. Kecemasan ini adalah suatu rasa ketakutan tentang
apa yang mungkin terjadi,
sekiranya anticathexis dari ego gagal untuk mencegah cathexis onyek dari
naluri-naluri meredakn dirinya dalam suatu tindakan yang impulsif. Kecemasan
neurotis dapat diperlihatkan dalam tiga bentuk, yaitu ada bentuk kecemasan yang
berkisar dengan bebas dan melekatkan dirinya dengan segera kepada sesuatu
kedaan lingkungan yang kira-kira cocok. Kecemasan semacam ini menjadi sifat
dari seorang yang gelisah, yang selalu mengira, bahwa sesuatu yang hebat akan
terjadi. Suatu bentuk kecemasan neurotis yang dapat dilihat adalah ketakutan
yang tegang dan irrasional. Kecemasan neurotis selalu berdasarkan kecemasan
tentang kenyataan, dalam arti kata bahwa seseorang harus menghubungkan suatu
tuntutan naluriah dengan bahaya dari luar sebelum ia belajar merasa takut
terhadap naluri-nalurinya. Kecemasan neurotis adalah daerah kepribadian kita
sendiri, maka lebih sulitlah untuk menghadapinya dan sama sekali tidak mungkin
untuk lari darinya.
c.
Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan moral (moral anxiety) merupakan kecemasan
akibat dari rasa bersalah dan ketakutan dihukum oleh nilai-nilai yang ada pada
hati nuraninya. Kecemasan moral yang dialami sebagai suatu perasaan bersalah
atau malu dalam ego, ditimbulkan oleh suatu pengamatan mengenai bahaya dari
hati nurani.
4.
Aspek-Aspek
Kecemasan
Deffenbacher
dan Hazeleus dalam Register (1991) mengemukakan bahwa sumber penyebab
kecemasan, meliputi hal-hal di bawah ini :
a.
Kekhawatiran (Worry)
Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang
dirinya sendiri, seperti perasaan negatif bahwa ia lebih jelek dibandingkan
dengan teman-temannya.
b.
Emosionalitas (imosionality)
Emosionalitas (imosionality) sebagai reaksi diri
terhadap rangsangan saraf otonom, seperti jantung berdebar-debar, keringat
dingin dan tegang.
c.
Gamgguan dan hambtan
dalam menyelesaikan tugas (task generated
interference)
Gangguan
dan hambatan dalam menyelsaikan tugas merupakan kecenderungan yang dialami
seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas.
(Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010: 143-144)
Spielberger,
Liebert, dan Morris dalam (Elliot, 1999); Jeslid dalam Hunsley (1985); Mandler
dan Saroson dalam Hockey (1983); Gonzales, Tayler. Dan Anton dalam Frietman
(1997) telah mengadakan percobaan konseptual untuk mengukur kecemasan yang
dialami individu dan kecemasan tersebut
didefinisikan sebagai konsep yang terdiri dari dua dimensi utama, yaitu
kekhawatiran dan emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis
dan sistem saraf otonomik yang timbul akibat situasi atau objek tertentu. Juga
merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk
yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal burukyang dirasakan yang
mungkin terjadi terhadap sesuatu yang akan terjadi, seperti ketegangan
bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat
mengerjakan sesuatu. Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan yang
dialami berupa pikiran negatif tentang diri dan lingkungannya dan perasaan
negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak
adanya harapan mendapat sesuatu
sesuai
yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang
ada, dan marasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.
Shah
(2000) membagi kecemasan menjadi tiga komponen, yaitu :
a.
Komponen fisik, seperti
pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut mual, mulut kering, grogi dan
lain-lain.
b.
Emosional seperti panik
dan takut.
c.
Mental atau kognitif,
seperti gangguan perhatian dan memor, kekhawatiran, ketidaketeraturan dalam
berpikir, dan bingung.
Selain
itu, ada tiga komponen yang ada pada kecemasan menghadapi tes, yaitu
kekhawatiran (worry), emosionalitas (imosionality), serta gangguan dan
hambatan dalam menyelsaikan tugas (task
generated). (Ghufron M. Nur, & Risnawati S, Rini. 2010: 143-144)
5.
Dinamika
Kecemasan
Individu
yang mengalami kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya karena
adanya pengalaman negatif perilaku yang telah dilakukan, seperti kekhawatiran
akan adanya kegagalan. Merasa frustasi dalam situasi tertentu dan ketidak
pastian melakukan sesuatu.
Dinamika
kecemasan, ditinjau dari teori psikoanalisis dapat disebabkan oleh adanya
tekanan buruk perilaku masa lalu serta adanya gangguan mental. Ditinjau dari
teori kognitif, kecemasan terjadi karena adanya evaluasi diri yang negatif.
Perasaan negatif tentang kemampuan yang dimilikinya dan orientasi diri yang
negatif. Berdasarkan pandangan teori humanistik, maka kecemasan merupakan
kekhawatiran tentang masa depan, yaitu khawatir pada apa yang akan dilakukan.
Jadi,
dapat diketahui bahwa kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya
kekhawatiran akan kegagalan, frustasi pada hasil tindakan yang lalu, evaluasi
diri yang negatif, perasaan diri yang negatif tentang kemampuan yang
dimilikinya, dan orientasi diri yang negatif. (Ghufron, M. Nur & Risnawati
S, Rini. 2010: 144-145)
6.
Gangguan-Gangguan
Kecemasan
Ada beberapa macam
gangguan kecemasan meliputi :
a.
Gangguan Panik
Dalam gangguan panik
seseorang mengalami serangan mendadak dan sering kali tidak dapat dijelaskan
dalam bentuk serangkaian simtom yang tidak mengenakkan, kesulitan bernafas,
jantung berdebar, mual, nyeri dada, dan lain-lain. Dua teori yaitu bilogis dan
psikologis telah digunakan untuk menjelaskan gangguan panik. Teori biologis menyebutkan sensai fisik yang disebabkan oleh
suatu penyakit memicu beberapa orang mengalami gangguan panik, sedangkan teori
psikologis utama mengenai agorafobia yang sering menyertai gangguan panik
adalah hipotesis ketakutan terhadap ketakutan (Goldstein & Chmabless, 1978),
yang berpendapat bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat
umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat umum.
(C, Gerald. 2006: 198-204)
b.
Gangguan Kecemasan
Menyeluruh
Gangguan kecemasan
menyeluruh (Generalized anxiety
disorder/GAD) ditandai oleh perasaan cemas yang persisten yang tidak dipicu
oleh suatu objek, situasi, atau aktivitas uang spesifik, tetapi yang lebih
merupakan disebut Freud sebagai “mengembung bebas” (free floating). Ciri utama dari GAD adalah rasa cemas. Orang dengan
GAD adalah pencemas yang kronis. Ciri lain yang terkait adalah merasa tegang,
was-was, tau khawatir, mudah lelah, mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau
menemukan bahwa pikirannya menjadi kosong, iritabilitas, ketegangan otot, dan
adanya gangguan tidur. GAD cenderung merupakan suatu gangguan yang stabil,
muncul pada pertengahan remaja sampai umur 20-an dan kemudian berlangsung
seumur hidup (Rapee,1991). ( Rathus, Spancer A. 2005:167)
c.
Gangguan Fobia
Phobia
adalah ketakutan atau kecemasan yang abnormal, tidak rasional dan tidak bisa
dikontrol terhadap suatu situasi atau objek tertentu, merupakan ketakutan khas
neorisis, yang menimbulkan macam-macam bentuk kecemasan atau ketakutan.
Sebab-sebab terjadinya Phobia :
1.
Pernah mengalami ketakutan yang hebat.
2.
Pengalaman ini diikuti oleh rasa malu dan rasa-rasa bersalah, kemudian
semuanya ditekan (repressed) untuk
melupakan kejadian-kejadian tersebut.
3.
Jika mengalami stimulus yang serupa, timbulah respons ketakutan yang
bersyarat kembali, walaupun pengalaman yang asli sudah dilupakan, respons-respons ketakutan
hebat selalu timbul kembali, walau ada usaha-usaha untuk menekan dan melenyapkan respons-respons
tersebut.
Menurut A. Supratiknya (1995) pada umumnya phobia timbul karena proses
belajar yang tidak semestinya (faulty
learning), karena hal tersebut dapat terwujud dalam situasi lain, misalnya
:
1.
Seorang wanita mengalami trauma karena menyaksikan copet giwang
seorang anak dengan paksa hingga telinga berdarah. Jadi , wanita itu mengaitkan
keadaan atau peristiwa waktu terjadi trauma.
2.
Sebagai cara untuk mempertahankan diri terhadap kecemasan akibat memiliki sifat
agresif atau jahat. Seorang suami yang cemburu terhadap istrinya, berniat
memasukkan istrinya ke dalam sumur. Untuk mempertahankan diri, menjadi phobia
terhadap sumur, dengan demikian menjadi terbebas dari kecemasan terhadap sifat jahatnya.
3.
Sebagai cara untuk mengalihkan kecemasan. Dengan memindahkan ke hal lain,
kecemasan menjadi terbebas. Misalnya seorang karyawan yang merasa khawatir
terkena PHK dari perusahaan tempat bekerja , tiba – tiba menjadi sangat takut
naik lift.
Untuk penyembuhan penderita phobia dengan menolongnya untuk memahami
phobianya masing – masing dan mempelajari cara – cara yang efektif dalam
mengatasi kecemasan maupun situasi kejadian yang ditakutinya.
(Rathus, Spancer A. 2005:1168-169)
d.
Gangguan
Obsesif-Kompulsif
Obsesif (pengepungan) ialah ide-ide atau emosi yang terus -menerus melekat dalam pikiran atau hati
seseorang dan tidak mau hilang atau penderita seolah – olah dikepung atau
dicengkeram oleh pikiran – pikirang tertentu yang tidak masuk akal ( tidak
logis). Makin besar usaha untuk melepas diri, makin besar pula gangguan pikiran
yang mencengkeram. Individu yang bersangkutan secara sadar selalu berusaha untuk menghilangkannya. Asal
mulanya obsesi tidak diketahui oleh sipenderita itu sendiri.
Sebab-sebab terjadinya obsesif, menurut freud:
1.
Penekanan dari pengalaman-pengalaman seksual dimasa lampau. Ada
pengalaman godaan seksual yang diikuti oleh agresi seksual.
2.
Timbul konflik diantara kecendrungan untuk melakukan sesuatu
perbuatan, sebab didorong satu nafsu keinginan, melawan ketakutan yang hebat
untuk melakukannya atau takut akan konsekuensi akibat dari perbuatan tadi. Juga
ada konflik kronis diantara elemen-elemen yang terkait itu.
Kompulsif adalah tandens atau influs yang tidak tertahankan atau tidak
bisa dicegah untuk melakukan suatu perbuatan, bahasa sederhananya mengalami
keraguan – raguan mengenai sesuatu yang dikerjakan hingga menjadi perbuatan
yang serupa berulang kembali. Tendensi keinginan ini tidak bisa dikontrol dan
dikendalikan, serba bertentangan dengan kemauan yang sadar sewaktu
melakukannya. Sebab-sebab terjadinya Kompulsif
1.
Repressi dari pengalaman lama, ada truma mental dan trauma emosional.
2.
Ada konflik-konflik antara nafsu keinginan-keinginan dengan
ketakutan-ketakutan .
3.
Ada kebiasaan-kebiasaan tertentu.
4.
Perbuatan-perbuatan kompulsif itu merupakan subtitusi atau pergantian
dari keinginan-keinginan yang ditekan.
Bentuk-bentuk tingkah laku Kompulsif
1.
Kleptomania : tendensi yang
tidak bisa dicegah untuk mencuri.
2.
Pyromania : tendensi yang tidak dapat dicegah untuk membakar.
3.
Dipsomania : tendensi yang
tidak dapat dicegah untuk selalu bepergian, berpindah tempat, mengembara atau jalan kemana-mana.
4.
Perbuatan ritualistic :
tendensi yang tidak dapat dicegah untuk melakukan suatu perbuatan yang
melambangkan satu ide.
Simptom reaksi obsesif-kompulsif adalah kekacauan psikhoneurotis dengan kecemasan-kecemasan yang berkaitan
dengan pikiran-pikiran untuk melakukan suatu perbuatan. Penderita sadar kalau pikiran dan kecemasan itu sia-sia, tidak pantas, atau tidak perlu, namun ia tidak mau mengontrolnya.
Sebab dia dikuasai oleh simptom kecemasan tersebut, dan dengan sia-sia melawan
pikiran dan kecemasannya.
Obsesif-kompulsif gejalanya adanya pikiran atau perasaan atau
keyakinannya yang sangat kuat tentang suatu hal yang diikuti dengan kecenderungan untuk terus menerus melakukan hal tersebut. Walaupun yang
bersangkutan sendiri menyadari bahwa hal tersebut tidak masuk akal.
Obsesif-kompulsif ini menurut Freud, merupakan akibat dari adanya perasaan
berdosa (biasanya yang menyangkut seks) yang disimpan dalam alam ketidaksadaran
seseorang. (C, Gerald. 2006: 214-219)
e.
Gangguan Stres Akut dan
Gangguan Stres Pascatrauma
Gangguan sters
pascatrauma merupakan masa setelah pengalaman traumatis dimana seseorang
mengalami peningkatan kemunculan, penolakan stimuli yang diasosiakan dengan
kejadian traumatis yang dialami, dan kecemasan yang disebabkan oleh ingatan
terhadap peristiwa tersebut. Sedangkan gangguan stres akut merupakan
simtom-simtonya sama dengan gangguan stres pascatrauma, namun hanya berlangsung
selama empat minggu atau kurang. (C, Gerald 2006: 183)
7.
Mekanisme
Pertahanan Diri
Bentuk-bentuk mekanisme
pertahan diri, yaitu :
a.
Penyangkalan (Denial)
Penyangkalan adalah
pertahanan melawan kecemasan dengan “menutup mata” terhadap keberadaan
kenyataan yang mengancam. Individu menolak sejumlah aspek kenyataan yang
membangkitkan kecemasan. Kecemasan atas kematian yang dicintai misalnya, sering
dimanifestasikan oleh penyangkalan terhadap kematian. Dalam peristiwa-peristiwa
tragis seperti perag atau bencana-bencana lainnya, orang-orang sering
bekencederungan membutakan diri terhadap kenyataan-kenyataan yang terlalu
menyakitkan untuk diterima.
b.
Proyeksi (Projection)
Proyeksi merupakan
mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada
orang lain. Seseorang melihat pada diri orang lain hal-hal itu pada diri
sendiri. Jadi, dengan proyeksi seseorang akan mengutuk orang lain karena
“kejahatnnya” dan menyangkal memiliki dorongan jahat seperti itu. Untuk
menghindari kesakitan karena mengakui bahwa di dalam dirinya terdapat dorongan
yang dianggap jahat, ia memisahkan diri dari kenyataan ini.
c.
Fiksasi
Menjadi “terpaku” pada
tahap-tahap perkembangan yang lebih awal karena mengambil tahap ke langkah
selanjutnya bisa menimbulkan kecemasan. Anak yang terlalu bergantung
menunjukkan pertahanan berupa fikasi: kecemasan menghambat si anak belajar
mandiri.
d.
Regresi (Regression)
Melangkah mundur ke
fase perkembangan yang lebih awal tuntutan-tuntutannya tidak terlalu besar,
contohnya seorang anak yang takut sekolah menunjukkan tingkah laku infantil
seperti menangis, mengisap ibu jari, bersembunyi. Atau ketika adiknya lahir,
seorang anak kembali menunjukkan tingkah laku yang kurang matang.
e.
Rasionalisasi (Rationalization)
Meciptakan
alasan-alasan yang “baik” guna menghindarkan ego dari cedera; memalsukan diri
sehingga kenyataan yang mengecewakan menjdi tidak begitu menyakitkan. Orang
yang tidak memperoleh kedudukan mengemukakan alasan,mengapa dia begitu senang
tidak memperoleh kedudukan yang sesungguhnya yang diinginkan. Atau seorang
pemuda yang ditingalkan kekasihnya,
guna menyembuhkan egonya yang terluka ia mengibur diri bahwa si gadis tidak
berharga dan bahwa dirinya akan menendangnya.
f.
Sublimasi (Sublimation)
Menggunakan jalan
keluar yang lebih tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima bagi
dorongan-dorongannya. Contohnya, doirongan agresif yang ada pada seseorang
disalurkan kedalam aktivitas bersaing di bidang olahraga sehingga dia menemukan
jalan bagi pengungkapan perasaan agresifnya, dan sebagai tambhan dia bisa
memperoleh imbalan apabila ia berprestasi di bidang olahraga tersebut.
g.
Pengalihan (Displacement)
Mengarahkan energi atau
objek kepada orang lain apabila objek asal atau orang sesungguhnya, tidak bisa
dijangkau. Seorang anak ingin menendang orang tuanya kemudian menendang adiknya
atau, jika tidak ada adiknya menendang kucing.
h.
Represi
Melupakan isi kesadaran yang
traumatis atau bisa membangkitkan kecemasan; mendorong kenyataan yang tidak
bisa diterima kepada ketaksadaran, atau menjadi tidak menyadari hal-hal yang
menyakitkan. Represi, merupakan salah satu konsep Freud yang paling penting,
menjadi basis bagi banyak
pertahanan ego lainnya dan bagi gangguan-gangguan neurotik.
i.
Formasi Reaksi
Melakukan tindakan yang
berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar; jika perasaan-perasaan yang lebih
dalam menimbulkan ancaman, maka seseorang menampilkan tingkah laku yang
berlawananguna menyangkal perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan ancaman itu.
Contohnya seorang ibu yang memiliki perasaan menolakterhadap ankanya, karena adanya
perasaan berdosa, ia menampilkan tingkah laku yang berlawana, yakni terlalu
melindungi atau “terlalu mencintai” anaknya. Orang yang menunjukkan sikap yang
menyenangkan yang berlebihan atau terlalu baik boleh jadi berusaha menutupi
kebencian dan perasaan-perasaan negatifnya.
j.
Identifikasi (Identification)
Meskipun identifikasi adalah
bagian dari proses perkembangan dimana anak-anak mempelajari peranan gender,
hal ini juga menjadi reaksi yang defensif. Identifikasi dapat mempertinggi
harga diri dan melindungi seseorang dari kegagalan.
k.
Kompensasi (Compenzation)
Kompensasi terdiri dari
penutupan kelemahan yang dirasakan atau pengembangan sifat-sifat positif
tertentu untuk mengejar keterbatasan-keterbatsan.
(Corey, Gerald 2003:
18-20)
8.
Perspektif
Teoritis Gangguan Kecemasan
Gangguan – gangguan kecemasan merupakan suatu laboratorium teoretis.
Banyak teori tentang tingkah laku abnormal dikembangkan dengan pemikiran
tentang gangguan – gangguan ini, di antaranya :
a.
Perspektif Psikodinamika
Dari perspektif, kecemasan
adalah suatu sinyal bahaya bahwa implus-implus yang mengacam yang sifatnya
seksual atau agresif (membunuh) melekat ke taraf kesadaran. Misalnya , pada
phobia difungsikan mekanisme proyeksi (projection) dan displacement. Suatu
reaksi phobia dipercaya melibatkan proyeksi dari implus – implus yang mengancam
yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri dan dipindahkan ke objek phobia.
Dengan menerapkan model psikodiamika pada
gangguan – gangguan kecemasan lainnya, dapat membuat hipotesis bahwa dalam
gangguan kecemasan menyeluruh, konflik – konflik tak sadar tetap tinggal
tersembunyi, tetapi kecemasan merembes ke taraf kesadaran. Obsesi dipercaya
sebagai representasi dari merembesnya impuls – impuls tak sadar kedalam
kesadaran, dan kompulsi adalah tindakan yang membantu untuk membuat implus –
implus ini tetap tetepresi.
b.
Perspektif Belajar
Dari perspektif belajar, kecemasan dipeloleh melalui proses belajar,
terutama melalui conditioning dan belajar observasional. Menurt model klasik O.
Hobart Mowrer (1948) model dua faktor / suatu model teoretis yang menjelaskan perkembangan reaksi phobia
atas classical conditioning dan operant conditioning tercakup dalam pembentukan
phobia, yaitu kelegaan dari kecemasan menguatkan penghindaran stimuli yang
menimbulkan ketakutan. Komponen takut
pada phobia diyakini diperoleh melalui classical conditioning. Pembentukan
gangguan panik mungkin
merupakan suatu bentuk dari classical conditioning (Bouton,Mineka, dan Barlow,
2001). Model ini, disebut prepared conditioning, mensugestikan bahwa evolusi
lebih mendukung kelangsungan hidup dari nenek moyang manusia yang secara
genetis mempuyai predisposisi untuk memperoleh rasa takut terhadap objek –
objek yang mengancam, seperti binatang – binatang besar , ular, dan lain –
lain.
c.
Perspektif kognitif
Faktor – faktor kognitif dalam
gangguan kecemasan dari perspektif kognitif adalah pada peran dari cara pikir
yang terdistorsi dan disfungsional yang mungkin memegang peran pada
pengembangan gangguan – gangguan kecemasan, seperti :
1)
Prediksi berlebihan terhadap rasa takut.
2)
Keyakinan yang self –defeating
atau Irasional.
Pikiran – pikiran self-defeating dapat
meningkatkan dan mengkekalkan gangguan – gangguan kecemasan dan phobia. Bila
berhadapan dengan
stimulus pembangkit kecemasan, orang mungkin berpikir, “Saya harus keluar dari sini,” atau
“jantung saya akan meloncat keluar dari dada saya”(Meichenbaum &
Deffenbacher,1988).
3)
Sensitivitas berlebihan terhadap ancaman.
Suatu sentivitas berlebihan terhadap sinyal
ancaman adalah ciri utama dari gangguan – gangguan kecemasan (Beck &
Clark,1997). Seperti menaiki elevator atau mengendarai mobil melalui jembatan.
4)
Sensitivitas kecemasan .
Sensitivitas kecemasan ( anxiety sensitivity )
biasanya didefinisikan sebagai kekuatan terhadap kecemasan dan simtom – simtom
yang berkait dengan kecemasan (zinbarg dkk,2001).
5)
Salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh.
Para teoretikus kognitif menunjukkan peran
dari salah interpretasi yang membawa bencana, seperti peran palpitasi jantung,
pusing tujuh keliling, kepala enteng dalam eskalasi dari simtom – simtom panik menjadi serangan panik parah ( Clark,1986; Craske &Rapce, 1996).
Sinyal – sinyal tubuh ini dapat muncul sebagai konsekuensi dari hipervetilasi
yang tidak terdeteksi , perubahan suhu , atau reaksi terhadap obat tertentu atau perubahan tubuh yang wajar – wajar saja yang
biasanya tidak dirasakan oleh banyak orang.
6)
Self-efficacy yang rendah.
Bila anda percaya anda tidak punya kemampuan
untuk menanggulangi tantangan – tantangan penuh stress yang anda hadapi dalam
hidup. Anda akan merasa makin cemas bila anda berhadapan dengan tantangan – tantangan
itu. Orang dengan self-efficacy yang
rendah ( kurang keyakinan pada kemampuan
untuk melaksanakan tugas - tugas dengan
sukses) cenderung untuk berfokus kepada kekuatan yang dipersepsikannya.
d.
Perspektif biologis
1)
Faktor – faktor genetik.
Faktor – faktor genetis tampak mempunyai
peran penting dalam perkembangan gangguan – gangguan kecemasan, termasuk
gangguan panik,
gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif - kompulsif, dan gangguan
– gangguan phobia.(APA,2000; Gorman
dkk,2000; Hettema, Neale & Kendler,2001; kindler dkk,2001)
2)
Neurotransmiter.
Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada
reaksi kecemasan, termasuk gamma
aminobutyric acid (GABA). GABA adalah neurotransmiter yang inbitori, yang
berarti merendahkan aktivitas berlebih dari sistem saraf dan membantu untuk meredakan
respons-respons stres (USDHHS,1999). Bila aksi GABA tidak adekuat,
neuron-neuron dapat berfungsi berlebihan, kemungkinan menyebabkan kejang –
kejang. Bahwa obat anti kecemasan yang disebut benzodiazepine, yang mencakup
valium dan Librium yang sangat terkenal, membuat reseptor GABA menjadi
sensitive, dengan demikian meningkatkan efek menenangkan (inhibitori) dari
respon GABA menjadi lebih sensitif, dengan demikian meningkatkan efek
menenangkan (inhibitori) dari GABA (Zorumski & Isenberg,1991).
3)
Aspek – aspek biokimia pada gangguan panik
i.
Komponen fisik yang kuat pada gangguan panik telah membawa beberapa
teorikus untuk berspekulasi bahwa serangan – serangan panik mempunyai dasar
biologis, kemungkinan melibatkan sistem alarm yang disfungsional di otak (Glass,2000). Fakta bahwa serangan panik
sering timbul tanpa sebab, sepertinya mendukung keyakinan bahwa serangan –
serangan ini dipicu oleh biologis. Meskipun demikian, adalah mungkin bahwa sinyal yang menimbulkan banyak serangan panik mungkin bersifat internal,
melibatkan perubahan – perubahan pada sensasi tubuh, dan bukan suatu yang
bersifat eksternal. Perubahan – perubahan pada sinyal fisik, dikombinasi dengan
pikiran kata strofik, dapat menyebabkan membumbungnya kecemasan yang terkulminasi
menjadi serangan panik yang sebesar – besarnya.
4)
Aspek – aspek biologis dari ganguan obsesif – kompulsif.
Model biologi lain akhir – akhir ini mendapat
perhatian mengatakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif dapat melibatkan
keterangsangan yang meninggi dari apa yang disebut sebagai sirkuit cemas (warry
circuit), suatu jaringan neural di otak yang ikut serta dalam memberikan sinyal
bahaya.
C.
Ujian
1.
Pengeetian
Ujian
Ujian
adalah suatu kegiatan yang mutlak dilaksanakan dalam rangka megukur penguasaan
materi yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu. (Djamarah, Syaiful
Bahri. 2002: 126). Ujian yang dimaksud dalam penelitin ini adalah ujian
kenaikan kelas. Didalam ujian itu terdapat empat kriteria yang digunakan untuk
mengevaluasi siswa, yaitu penilaian, pengukuran, pengujian dan evaluasi.
Penilaian merupakan istilah umum yang digunakan dalam mengukur metode yang
digunakan dalam menilai kemampuan siswa. Pengukuran dapat diklsifikasikan
menjadi dua, yaitu pengukuran kualitatif dan pengukuran kuantitatif. Pengukuran
kualitatif biasanya dinyatakan dengan dengan huruf yaitu A (amat baik), B
(baik), C (cukup) dan K (kurang), sedangkan pengukuran kuantitatif dinyatakan
dalam bentuk angka. Pengujian merupakan kegiatan yang bisanya dilaksanakan dengan
cara memberikan ujian kepada siswa seperti ulangan kenaikan kelas. Evaulasi
adalah penilaian yang dilakukan secara sistematik tentang manfaat suatu objek.
Obejk evaluasi merupakan program yang bnyak memiliki dimensi seperti bakat,
minat, keterampilan, sikap, kreativitas serta kemampuannya.
Berdasarkan
penjelasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa ujian merupakan proses
evaluasi siswa mengenai pengetahuan,
kemampuan serta kecerdasannya dalam menjalani pendidikan di sekolah sebagai
akibat dari kegiatan proses belajar siswa.
2.
Persiapan
Menjelang Ujian
Dalam
menghadapi masa ujian, terutama sebulan terakhir menjelang ujian, Anda perlu
mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan masalah
perbaikan-perbaikan untuk mengingat kembali bahan-bahan yang telah dipelajari
dengan melakukan sebagai berikut:
a.
Membaca ulang kembali
baik catatan pelajaran maupun rangkuman-rangkuman.
b.
Memperbaiki catatan,
menyempurnakan, dan memberi garis-garis bawah, atau tanda-tanda lainnya.
c.
Membuat ikhtisar yang
lebih praktis, yang mudah untuk diingat
d.
Organisasilah
bahan-bahan pelajaran tersebut, artinya susunlah dalam pikiran catatan yang
telah dibaca tersebut.
Tegasnya
membaca kembali, memperbaiki catatan, membuat ikhtisar, dan menyususn
pengetahuan yang lengka, akhirnya tinggal menghafal. Sedangkan seminggu
menjelang ujian dimulai, yang Anda perlukan adalah sebagai berikut:
a.
Mengatur waktu
sebaik-baiknya, belajar, istirahat, olahraga ringan, makan, dan tidur.
b.
Membuat rencana belajar
yang tepat, efektif dan efesien.
c.
Setiap 45 menit belajar
agar diselingi istirahat 15 menit.
d.
Tidur yang cukup,
karena apabila kurang tidur, badan terasa lelah dan otak kurang mampu berpikir.
(Djamarah,
Syaiful Bahri. 2002: 127-128)
III.
KERANGKA
BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A.
Kerangka
Berpikir
Kecemasan siswa terhadap
ujian sekolah
|
Siswa yang tidak siap
mengahadapi ujian cenderung akan gugup, khawatir.
|
Aspek-aspek kecemasan:
1.
Kekhawatiran
2.
Emosionalitas
3.
Mengalami
gangguan dan hambatan dalam mengerjakan soal.
Aspek tersebut akan muncul akibat kecemasan yang dialami siswa
|
Teknik
Systematic Desensitizitation, langkah
:
1. Relaksasi
2. Pengembangan hirarki kekhawatiran
3.
Penggunaan desensitisasi
sistematik
|
Siswa
akan merasa rilkes dan tidak akan merasa tegang lagi dan cemas lagi, gugup
dan khawatir.
|
Ujian merupakan suatu kegiatan yang
mutlak dilaksanakan dalam mengukur penguasaan materi yang telah diberikan dalam
jangka waktu tertentu. Ada siswa yang siap untuk mengahadapi ujian tersebut dan
ada pula yang tidak siap untuk mengahadapi ujian tersebut. Siswa yang tidak
siap tersebut cenderung akan khawatir dan gugup ketika mengikuti ujian tersebut
maka secara tdak langsung akan menimbulkan kecemasan yang ditandai adanya
aspek-aspek kecemasan
pada siswa tersebut seperti gugup, khawatir, dan tingkah laku yang dihasilkan
juga akan tampak seperti gelisah.
Salah satu teknik yang bisa
membantu siswa dalam mengatasi kecemasan adalah teknik systematic desensitization
dengan menggunakan metode relaksasi, yang mempunyai tiga tahapan yaitu tahapan
relaksasi, tahapan pengembangan hirarki kekhawatiran,dan penggunaan teknik systematic desensitization. Dengan
menggunakan teknik ini setidaknya dapat membantu siswa mengurangi kecemasan
yang dialaminya sehingga siswa menjadi rileks dan santai dalam menghadapi ujian
sekolah.
B.
Hipotesis
Hipotesis penelitian/ kerja (Ha) menyatakan adanya
hubungan antara variabel x dan variabel y, sedangkan hipotesis nol (Ho) tidak
ada hubungan antara variabel x dan variabel y, yang dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Hipotesis
Penelitian/Kerja (Ha) : adanya perbedaan
tingkat presentasi kecemasan siswa
sebelum diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization dan sesudah
konseling individual.
2.
Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada perbedaan
tingkat presenatasi kecemasan siswa sebelum diberikan konseling individual
dengan menggunakan teknik systematic
desensitization dan sesudah konseling individual
IV.
METODE
PENELITIAN
A.
Rancangan
Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. (Iskandar, Zainun.
2005: 77). Metode penelitian ilmiah cara kerja yang digunakan dalam melakukan
suatu penelitian. (Fathoni, Abdurrahmat. 2006: 99). Selanjtnya untuk menjawab
rumusan masalah dan menguji hipotesis, diperlukan metode penelitian. Untuk itu
di bagian ini perlu ditetapkan metode penelitian apa yang akan digunakan.
(Sugiyono, 2008: 285)
Berdasarkan penjelasan di atas
bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan
penelitian eksperemen. Penelitian eksperemen merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk ada tidaknya akibat dari sesuatu yang dikenakan pada subjek
selidik, dengan kata lain penelitian eksperemen mencoba meneliti ada tidaknya
hubungan sebab akibat. (Arikunto, Suharsimi. 2009: 207). Penelitian ini
menggunakan rancangan pre-eksperemental desain, dengan bentuk desain Intact-Group Comparison, yaitu desain
ini terdapat satu kelompok yang digunakkan untuk penelitian, tetapi dibagi
menjadi dua, yaitu setengah kelompok untuk eksperemen ( yang diberi perlakuan)
dan setengah untuk kelompok kontrol (yang tidak diberi perlakuan). (Sugiyono,
2008: 75)
|
: Hasil pengukuran setengah kelompok yang diberi perlakuan
: Hasil pengukuran setengah kelompok yang tidak diberi perlakuan
B. Variabel Penelitian
Menurut Y. W Best yang disunting
oleh Sanpiah Faisal dalam (Hadi, Amirul dan Haryono, 1998: 204-205) variabel
penelitian adalah kondisi-kondisi atau serenteristik-serenteristik yang oleh
peneliti dimanipulasikan, dikontrol atau diobservasi dalam satu penelitian.
Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud menjelaskan bahwa yang dimaksud variabel
penelitian adalah segala sesuatu yang akan dijadikan objek pengamatan
penelitian. Variabel dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu variabel bebas
atau variabel independen (x) dan variuabel terikat atau variabel dependen (y).
Variabel bebas adalah kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik yang
oleh peneliti dimanipulasi dalam rangka untuk menerangkan hubungannya dengan
fenomena diobservasi. Sedangkan variabel terikat adalah kondisi atau
karakteristik yang berubah atau muncul ketika peneliti mengintoduksi, mengubah
atau mengganti variabel bebas.
1.
Variabel Bebas (x) : Teknik
(systematic
desensitization)
2.
Variabel terikat (y) :
Kecemasan
C. Tempat, Subjek dan
Objek Penelitian
1.
Waktu Penelitian
Penelitian ini akan
dilaksanakan selama 4 bulan, mulai dari bulan Februari 2012 samapai dengan bulan
Mei 2012.
2.
Tempat Penelitian
Penelitian akan
dilaksanakan di SMA Negeri 1 Banjarmasin yang beralamat di jalan Mulawarman No.
25, telepon (0511) 3353467, merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas ynag
terfavorit.
Adapun yang menjadi
alasan pemilihan tempat penelitian tersebut, berdasarkan obervasi langsung
melalui PPL-BK peneliti
melihat adanya kecemasan yang di alami siswa pada kelas X ketika mengikuti
ulangan yang ditunjukkan dengan tingkah laku gelisah dan khawatir.
3.
Subyek Penelitian
Subjek penelitian
adalah benda, hal atau orang tempat variabel penelitian melekat. (Suharsimi
Arikunto, 2009: 99)
Berdsarkan penjelasan
di atas yang akan menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri 1
Banjarmasin.
4.
Obyek Penelitian
Objek penelitian dapat
berupa manusia, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, atau
peristiwa-peristiwa. (Hadeli, 2006: 68)
Berdasarkan penjelasan
di atas yang akan menjadi objek penelitian ini adalah kecemasan siswa SMA
Negeri 1 Banjarmasin kelas X terhadap ulangan semester.
D.
Jenis
dan Sumber Data
1.
Jenis Data
a.
Data Primer
Data primer adalah data
yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat
objek penelitian dilakukan. (Siregar, Syofian. 2010: 128)
Jadi data primer yang
digunakan dalam penelitian ini berupa hasil pengukuran skala kecemasan dari
peneliti terdahulu (Rahmayanti, Liny. 2011: ), dimana peneliti telah meminta
ijin persetujuan dari Liny Rahmawati untuk digunakan sebagai alat pengukuran
dalam penelitian ini.
b.
Data Sekunder
Data sekunder adalah
data yang diterbitkan atau digunakan oleh organisasi yang bukan pengolahannya.
(Siregar, Syofian. 2010: 128)
Jadi data sekunder dari
penelitian ini adalah data pendukung mengenai subjek yang akan diteliti melalui
dokumen-dokumen yang diperoleh dari pihak sekolah SMA Negeri 1 Banjarmasin,
data pribadi siswa dan wawancara langsung kepada konselor mengenai kecemasan
siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin terhadap ulangan semester.
2.
Sumber Data
Sumber data adalah
tempat, orang atau benda di mana
peneliti dapat mengamati, bertanya atau membaca tentang hal-hal yang berkenaan
dengan variabel yang diteliti. (Arikunto, Suharsimi. 2009: 99)
a.
Responden
Responden adalah orang
yang dapat memberikan jawaban atau keterangan tentang variabel. (Arikunto, Suharsimi.
2009:99). Berdasarkan penjelasan tersebut yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1Banjarmasin.
b.
Dokumen
Dokumentasi dalam
penelitian ini adalah seluruh data tentang siswa SMA Negeri 1 Banjarmasin.
E.
Teknik
Pengumpulan Data
1.
Populasi
Populasi
diartikan sebagai wilayah generalsi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. (sugiyono, 2008: 215).
Populasi
adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atapun pengukuran
kuantitatif ataupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua
nggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
(Sudjana, 2005: 6)
Jadi
populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.
Populasi juga bukan sekedar jumlah orang yang ada pada objek atau subjek yang
dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh
subjek atau objek yang akan diteliti itu. (Sugiyono, 2007: 61). Populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian. (Arikunto, Suharsimi. 2006: 130).
Alasan
saya memilih kelas X adalah karena siswanya yang baru memasuki sekolah tersebut
dan siswanya juga baru beradaptasi dengan gaya belajar yang sekolah tersebut
terapakan sehingga tidak jarang ada siswa yang masih belum bisa beradaptasi
dengan gaya belajar yang diterapakan sehingga akan menimbulkan kecemasan, serta
siswa tersebut baru yang menginjak perubahan perkembangan diri yang mana dari
fase ke fase atau masa transisi dari masa anak-anak ke masa remaja awal yang
mengalami perubahan, sehingga tidak jarang di masa tersebut penuh gejolak dan
kecemasan terhadap tanggung jawabnya sebagai remaja awal.
Tabel
1
Populasi
penelitian
No.
|
Kelas
|
Jumlah
|
1.
|
X – 1
|
33
|
2.
|
X – 2
|
31
|
3.
|
X – 3
|
32
|
4.
|
X – 4
|
32
|
5.
|
X – 5
|
32
|
6.
|
X – 6
|
33
|
7.
|
X – 7
|
25
|
|
Jumlah
|
218
|
Berikut
ini kriteria inklusi (ciri-ciri sampel
yang ditetapkan peneliti sebelumnya) yang dijadikan sampel penelitian :
a.
Kelas X1, X2, X3, X4,
X5, X6 dan X7. Peneliti melakukan pengumpulan data dari konselor sekolah
mengenai kecemasan siswa. Berdasarkan dari wawancara (data sekunder) dengan
Liny (peneliti terdahulu) Rahmayanti yang pernah melakukan penelitian tentang
kecemasan di sekolah tersebut bahwa siswa kelas X1, X2, dan X3 memiliki
permasalah kecemasan lebih berat dibandingkan dengan kelas lainnya.
b.
Kelas X1, X2 dan X3 akan dilakukan pengukuran
tingkat kecemasan dengan menggunakan skala kecemasan (Rahmayanti, Liny. 2011)
c.
Setelah diperoleh
mengenai hasil tingkat kecemasan siswa
kelas X1, X2 dan X3, menunjukkan siswa yang mendapatkan tingkat kecemasan sangat
tinggi.
.
d.
Sampel yang diambil hanya siswa yang memiliki
tingkat kecemasan yang sangat tinggi yaitu 30 orang.
e.
Di peroleh sampel yang
kemudian dilakukan wawancara terhadap sampel tersebut
2.
Sampel
Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
(Sugiyono, 2007: 62). Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Dinamakan penelitian sampel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan
hasil penelitian sampel. (Arikunto, Suharsimi. 2006: 131). Dalam penelitian ini
yang di ambil adalah jumlah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin
yang berjumlah 218 siswa yang terdiri dari tujuh kelas yang kemudian ditetapkan
sesuai dengan krteria inklusi di atas. Alasan saya memilih kelas X adalah karena
siswanya yang baru memasuki sekolah tersebut dan siswanya juga baru beradaptasi
dengan gaya belajar yang sekolah tersebut terapakan sehingga tidak jarang ada
siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan gaya belajar yang diterapakan
sehingga akan menimbulkan kecemasan, serta siswa tersebut baru yang menginjak
perubahan perkembangan diri yang mana dari fase ke fase atau masa transisi dari
masa anak-anak ke masa remaja awal yang mengalami perubahan, sehingga tidak
jarang di masa tersebut penuh gejolak dan kecemasan terhadap tanggung jawabnya
sebagai remaja awal. Adapun sampel dalam
penelitian ini adalah siswa kelas X1, X2, dan X3
Tabel 2
Sampel Penelitian
No.
|
Kelas
|
Sampel
|
|
1.
|
X – 1
|
32
|
|
2.
|
X – 2
|
31
|
|
3.
|
X – 3
|
32
|
|
|
Jumlah
|
95
|
|
Untuk mendapatkan sampel
penelitian, peneliti memiliki pertimbangan tertentu sesuai dengan inklusi
sebagai berikut :
Tahap
I
Melaksanakan pretest dengan menbagikan skala pengukuran
kecemasan (Rahmayanti, Liny. 2011) kepada siswa kelas X1, X2, dan X3.
Tahap
II
Dari hasil pengukuran
skala kecemasan siswa kelas X1, X2, dan X3, siswa yang tingkat kecemasan sangat tinggi akan dijadikan sampel.
Tahap
III
Berdasarkan dari tahap
II maka diperoleh sampel yang kemudian akan dilakukan wawancara terhadap sampel
tersebut.
Tahap
IV
Mengambil sejumlah
siswa untuk diberikan konseling yaitu sampel yang diberi perlakuan dan sampel yang
tidak diberi perlakuan
3.
Pelaksanaan Penelitian
a.
Tahap Pre-Test
Dalam tahap ini
peneliti melakukan pengukuran dengan membagikan instrumen skala kecemasan
(Rahmawati, Liny. 2011) kepada siswa kelas X1, X2, dan X3 sebelum perlakuan.
b.
Tahap Eksperimen/Tahap
Konseling
1)
Tahap I Relaksasi
a) Tarik
nafas dalam-dalam dan tahan selama 10 detik kemudian lepaskan. Biarkan lengan
Anda dalam posisi di atas paha atas lepas begitu saja.
b) Angkat
tangan Anda kira-kira separuh sofa (atau pada sandaran kursi) kemudian bernafaslah secara normal.
Letakkan tangan Anda di atas sofa
c) Sekarang
pegang lengan Anda lalu kepalkan dengan kuat. Rasakan ketegangannya dalam
hitungan sampai tiga dan pada hitungan
yang ketiga letakkan tangan Anda.
d) Angkat
tangan Anda kembali, tekuk jemari Anda ke belakang (ke arah tubuh Anda).
Sekarang letakkan tangan Anda dan tenanglah.
e) Angkat
tangan Anda sekarang, letakkan kemudian rileks
f) Sekarang
rentangkan lengan Anda dan tegangkan otot bisep anda yakinlah bahwa Anda
bernafas normal setelah itu rileks.
g) Putar
kepala anda ke kanan, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi
pertama.
h) Putar
kepala anda ke kiri, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi
pertama.
i)
Bengkokkan kepala
sedikit ke belakang, tahan lalu kembali ke posisi semula.*
j)
Tunduk kepala kebawah
sampai hampir menyentuh dagu menyentuh dada, tahan kemudian rileks dan kembali
ke posisi semula.*
k) Tarik
nafas dalam-dalam, tahan, hembuskan keluar kemudian rileks (perhatikan perasaan
lapang saat kamu menghembuskan nafasmu)
l)
Sekarang laayangkan
pikiran anda ke suasana yang paling anda suka dan mudah membawa anda ke suasana
tenang. Nikmati , betapa anda bahagia berada dalam suasana itu.
m) Rasakan
bahwa ketenangan telah menjalar dan merasuk ke seluruh tubuh dan jiwa anda
n) Setelah
beberapa saat bukalah mata anda, dan tetap rasakan suasana nyaman dan
ketenangan diri anda.
Catatan
: Diadapatasi dari Jacobson (1938), Rimm (1967, komunikasi pribadi), dan Wolpe
dan Lazarus 1966
*Konseli
jangan dipaksa untuk membengkokkan lehernya ke segala arah baik kedepan maupun
kebelakang.
(Fauzan, Lutfi. 2008:
51-54)
2)
Tahap II Pengembangan
Hierarki Kekhawatiran
Dalam penyelasaian
wawancara awal dan lama relaksasi para konselor mulai merencanakan hierarki
kekhawatiran dengan konseli untuk setiap kecemasan yang diketahui. Hierarki ini
didasarkan pada kecemasan yang telah disepakati konselor dan konseli sebagai perubahan
yang diinginkan dan treament yang
dilakukan konselor. Pada sesi akhir relaksasi yang pertama, konseli diberi
kartu indeks sistem pencatatan perlakuan dan diminta untuk datang kembali
mengisi kartu tersebut yang masing-masing berisi gambaran yang menyebabkan
kecemasan sampai tingkat tertentu.
3)
Tahap III Penggunaan
Sistematik Desensitisasi Yang Tepat
Tahap desensitisasi
pertama dimulai dengan membiarkan
konseli menenangkan dirinya di sofa atau kursi reclining kira-kira 3-5 menit. Selama waktu tersebut konselor
menganjurkan konseli bahwa ia telah lebih rileks dan telah mencapai tingkat
rilaksasi yang lebih dalam lagi.konseli juga diminta untuk mengindikasi, dengan
mengankat jari telunjuk tangannya, dis saat ia mencapai kondisi sangat tenang
dan nyaman. Setelah konseli memberi syarat konselor memintanya untuk
memvisualisasikan beberapa suasana
kecemasan yang di alami. Konselor meminta membayangkan tiap-tiap suasana yang
jelas dan nyata. Jika konseli merasakan sedikit lebih cemas atau tegang ketuika
dia membayangkan suasana tertentu, dia akan diberitahu secaepatnya dengan jari
tangan. Pada titik ini konselor meminta konseli untuk mengindikasikan dengan
menggunakan jari telunjuk jika dia masih merasa sangat tenang dan rileks. Jika
konseli memberi tanda konselor menghadirkan pengendali situasi. Setelah situasi
terakhir disajikan pada tahap tertentu, konselor meminta konseli untuk tetap
rileks beberapa saat. Kemudian konselor memulai fase terakhir dengan mengatakan
: “Tenang saja, rasakan
perasaan nyaman
dan senang. Saya ingin anda mempertahankan kondisi ini sampai saya hitung
sampai hitungan ke lima. Ketika saya sampai pada hitungan ke lima saya ingin
kamu membuka mata dan merasaklan perasaan sangat tenang dan senang. (jeda) Satu
rasakan perasaan tenang, Dua tenang, Tiga sangat gembira empat dan lima”. (Fauzan,
Lutfi. 2008: 24)
F.
Instrumen
Penelitian
1.
Bahan Perlakuan
Bahan perlakuan
merupakan bentuk panduan pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan
teknik systematic desensitization)
buat konselor yang berwujud naskah tulisan yang disusun oleh peneliti sendiri
berdasarkan teori dari (Fauzan, Lutfi. 2008: 26-34) dan (Willis, Sofyan S.
2004: 72). Naskah ini berisi panduan prosedur pelaksanaan konseling individual
(dengan menggunakan teknik systematic
desensitization) yang meliputi tiga tahapan, yaitu (1) tahap latihan
relaksasi, (2) pengembangan hierarki kekhawatiran, dan (3) penggunaan systematic desensitization yang tepat.
Masing-masing tahapan meliputi aspek penjelasan mengenai langkah-langkah
pelaksanaan konseling. Panduan disusun menjadi dua komponen, yaitu (1)
pendahuluan, dan (2) tahapan pelaksanaan konseling individual (dengan
menggunakan teknik systematic
desensitization). Komponen pendahuluan berisi tentang kecemasan siswa dan
fakta-fakta yang mendukung timbulnya kecemasan pada siswa yang berbentuk
perilaku yakni siswa mengalami kegelisahan dan ketidaktenangan. Sehingga
penanganan permasalah ini perlu segera diatasi dengan memberikan layanan
konseling individual (dengan menggunakan tekniuk systematic desensitization). Komponen kedua tahapan pelaksanaan
konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization) yang setiap komponen terdiri dari
tujuan dan prosedur pelaksanaan. Komponen tujuan berisi mengenai rumusan secara
operasional tentang apa yang mau dicapai dariproses tahapan konseling. Komponen
prosedur pelaksanaan berisi menganai langkah-langkah yang harus dilaksanakan
konselor dalam proses konseling secara sistematis. Panduan pelaksanaan
konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization yang disusun dan akan dikonsultasikan
dengan dosen pembimbing untuk diberikan bahan masukkan yang dijadikan sebagai
bahan revisi selanjutnya dan akan divalidasi
dilakukan oleh orang yang lebih ahli.
a.
Validasi Ahli
Setelah tersusun
panduan pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization) dan sebelum
digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu akan dilakukan validasi ahli dari
penilai ahli (expert jugment). Untuk
mendapatkan data yang bersifat kuantitatif maka disusun dalam bentuk skala
penilaian. Skala penilaian ini terdiri dari 8 item, dengan skor 1-5 yang dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel
3
Hasil
Validasi Ahli
Panduan
Pelaksanaan Konseling Individual Systematic
Desensitization
NO
|
ASPEK YANG DINILAI
|
HASIL PENILAIAN
|
|
NILAI
|
URAIAN
|
||
1.
|
Kejelasan konsep konseling dengan menggunakan teknik-teknik systematic desensitization.
|
5
|
Sangat jelas
|
2.
|
Keoperasionalan rumusan tujuan dari setiap
tahap
|
4
|
Operasional
|
3.
|
Ketepatan konselor untuk membangun hubungan
baik dengan konseli
|
5
|
Sangat tepat
|
4.
|
Keruntutan langkah-langkah pelaksanaan
konseling systematic desensitization.
|
5
|
Sangat
runtut
|
5.
|
Kejelasan langkah-langkah pelaksanaan
konseling dalam setiap tahap.
|
5
|
Sangat jelas
|
6.
|
Kesesuaian pengaturan waktu setiap pertemuan
|
4
|
Sesuai
|
7.
|
Ketepatan dan kejelasan penggunaan
teknik-teknik systematic desensitization yang digunakan dalam setiap tahap
|
5
|
Sangat jelas
|
8.
|
Kejelasan peran konselor
|
5
|
Sangat jelas
|
9.
|
Kejelasan peran konseli
|
5
|
Sangat jelas
|
10.
|
Kejelasan konselor mengakhiri konseling
|
5
|
Sangat jelas
|
|
Jumlah
|
48
|
|
Berdasarkan hasil
validasi ahli di atas dapat disimpilkan bahwa kejelasan peran konselor sangat
jelas, kejelasan rumusan tujuan dari setiap tahap sangat jelas, kejelasan
langkah-langkah pelaksanaan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization pada setiap
tahapan sesuai, kejelasan konsep konseling individual dengan teknik systematic desensitization sangat jelas,
ketapatan konselor dalam menciptakan hubungan dengan konseli sesuai, pengaturan
waktu setiap pertemuan sesuai dan ketepatan mengakhiri proses konseling juga sesuai. Berdasarkan aspek-aspek yang dinilai mendapat skor 48, maka skor
tersebut akan dinilai oleh yang ahli apakah panduan teknik layanan konseling
individual dengan menggunakan teknik systematic
desensitization layak untuk digunakan.
2.
Instrumen Pengumpulan
Data
Untuk melakukan
pengukuran, peneliti menggunakan instrumen dari penelitian terdahulu. Instrumen
yang digunakan adalah skla kecemasan (Rahmayanti, Liny. 2011) yang dimana
peneliti telah meminta persetujuan dari (Rahmayanti, Liny) untuk digunakan
sebagai alat ukur dalam penelitian ini.
a.
Skala Kecemasan
Skala kecemasan diadaptasi
dari Liny Rahmayanti (2011), berdasarkan aspek kecemasan dengan 3 sub variabel,
yaitu kecemasan realistik, kecemasan neorutik, dan kecemasan moral. Adapun
indikator dari masing-masing subvariabel meliputi: (1) kecemasan realistik:
terhadap orang-orang sekitar, terhadap benda-benda, terhadap guru, dan terhadap
teman, (2) kecemasan neorutik: kedaan fisik dan kedaan psikis, (3) kecemasan
moral: merasa berdosa. Setiap item pertanyaan terdiri dari 4 kemungkina jawaban
yaitu: (1) skor empat untuk jawaban sangat setuju (ST), (2) skor tiga untuk
jawaban setuju (S), (3) skor dua untuk jawaban tidak setuju (TS), dan (4) skor
satu untuk jawaban sangat tidak setuju (STS)
b.
Validitas dan Reliabilitas
Instrumen
Instrumen yang digunakan merupakan
instrumen penelitian terdahulu yang validitas dan reliabilitasnya di uji oleh
peneliti sendiri. Instrumen telah diuji validitasnya dengan r hitung lebih
besar dari r tabel (0, 349 diambil dari tabel nilai product moment dengan jumlah N= 32 dan taraf kepercayaan 95%).
Instrumen telah diuji reliabilitasnya dengan memiliki nilai Alpha Cronbach sebesar 0.6754 lebih
besar dari r tabel 0, 349 pada taraf kepercayaan 95%.
G.
Teknik
Pengolahan dan Analisis Data
Setelah pemberian perlakuan yaitu
konseling dengan teknbik systematic
desensitization, dilakukan pegukuran dengan menggunkan skala kecemasan,
yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan tingkat kecemasan pada
diri siswa dibandingkan dengan sebelum diberi perlakuan. Data yang diperoleh
kemudian di analisis dengan menggunkan analisis varians (annova). (Arinkunto, Suharsimi.
2009: 429)
Untuk menggolongkan aspek kecemasan ke
dalam katagori rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi, digunakan teknik
perhitungan presentase skor dengan cara menjumlahkan skor-skor yang diperoleh
dan dibagi dengan jumlah item, kemudian dikalikan 100% (Arikunto, Suharsimi
2006: 238). Skala kecemasan mempunyai 23 butir pertanyaan. Untuk mengukur aspek
kecemasan dengan gradasi 1 sampai 4, sehingga untuk menginterpretasikan dapat
dibuat presentasi skor dengan menjumlahkan skor yang diperoleh dan bagi dengan
jumlah item kemudian dikalikan 100%. Maka presentase skor dapat di masukkan
kedalam katagori : rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi, digunakan kriteria
perhitungan sebagai berikut :
1.
Presentase maksimal :
2.
Presentase minimal :
3.
Rentang : 100% -
25% = 75%
4.
Panjang kelas interval : 75% : 4 = 18,75%
Dengan panjang interval
18,75% dan presentase minimal 25% maka dapat dubuat kriteria sebagai berikut:
Tabel
5
Interpretasi
Presentase Skor Kecemasan
No.
|
Interval
(dalam %)
|
Katagori
|
1.
|
25
– 43,75
|
Rendah
|
2.
|
43,76
– 62,51
|
Sedang
|
3.
|
62,52
– 81,27
|
Tinggi
|
4.
|
81,28
– 100
|
Sangat
Tinggi
|
H.
Jadwal
Penelitian
Berikut ini adalah
jadwal penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan waktu yang diperlukan oleh
peneliti untuk mengadakan poenelitian.
Tabel
4
Jadwal
Penelitian
No.
.
|
Kegiatan
|
Februari 2010
|
Maret 2010
|
April 2010
|
Mei 2010
|
||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1.
|
Tahap persiapan pembuatan proposal
|
x
|
x
|
X
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Tahap pengumpulan data
|
|
|
|
|
x
|
x
|
x
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Tahap pengolahan data
|
|
|
|
|
|
|
|
|
x
|
x
|
x
|
x
|
|
|
|
|
4.
|
Tahap penulisan laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
x
|
x
|
x
|
x
|
I.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka
Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Asmani, Jamal Ma’mur. 2010. Panduan Efektif Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah. Yogyakarta :
Divapress.
Artati, Y. Budi. 2010. Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA. Kalaten : Intan Pariwara
Corey, Gerald. 2003. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung : PT Refika
Aditama
C, Gerald. 2006. Psikologi
Abnormal Edisi ke-9. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri, 2008. Psikologi belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta:
Rineka Cipta
Fauzan, Lutfi. 2008. Systematic Desensitization Prosedur Pelemahpekaan Berangsur Terhadap
Gangguan Phobia dan Kecemasan. Malang : Universitas Negeri Malang
Fesit, Jeist & Fesit, Gregory J. 2010. Teori Kepribadian (Theoris of Personality)
Buku 1 Edesi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Fesit, Jeist & Fesit, Gregory J. 2010. Teori Kepribadian (Theoris of Personality)
Buku 2 Edesi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta :
AR-Ruz Media
Hadi, Amirul & Haryono. 1998. Metodologi Penelitian Pendidikan.
Bandung : Pustaka Setia
Hall, Calvin S. 1995. Seks. Obsesi, Trauma, Dan Katarsis. Jakarta : Delapratasa
Hikmawati, Fenti. 2010. Bimbingan Konseling. Jakarta : Rajawali Pers
Http://akhmadsudrajat.Wordpress.com,
diakses 16 maret 2011
Http:// Perawatpsikiatri.blagspot.com, diakses 24 desember 2010
Iskandar, Zainun. 2005. Metode Penelitian Bimbingan. Banjarmasin : Program Studi Bimbingan
Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
Nurihsan, Achmad Juntika & Sudianto, Akur. 2005.
Manajemen Bimbingan Dan Konseling Di SMA
Kurikulum 2004. Jakarta : Grasindo
Rahmayanti, Liny, 2011. Analisis Kecemasan Siswa Dalam Menghadapi Ujian Sekolah Siswa Kelas X
DI SMAN 1Banjarmasin. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
Rathus, Spancer A, dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilit 1 & 2. Jakarta : Erlangga
Siregar, Syofian. 2010. Statistika Deskriptif Untuk Penelitian. Jakarta : Rajawali Pers
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut & Kusmawati, Nila. 2008. Proses Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah.
Jakarta : Rineka Cipta
Sudjana. 2005. Metode
Statistika. Bandung : Trasito
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung
: Alfabeta
Sugiyono. 2008. Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta : Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar & La Sulo, S. L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka
Cipta
Tohirin. 2007. Bimbingan
Dan Konseling Di Sekolah Dan Madrasah (Berbsis Intelegensi). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori Dan Praktik. Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar