Rabu, 07 November 2012

PROPOSAL PENELITIAN EKSPERIMEN


I.          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Tugas pendidikan adalah memanusiakan manusia. Manusia yang berpotensi itu dapat berkembang kearah yang baik, tetapi dapat pula berkembang ke arah yang tidak baik. Karena itulah dilakukan berbagai usaha yang disadari sepenuhnya dan dirancang secara sistematis agar perkembangan itu menuju arah yang baik. Untuk itu diperlukan sekolah sebagai sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Di sekolah dalam menjalankan pendidikan tidak lepas dari yang namanya proses kegiatan belajar mengajar yang terdiri antara pendidik dan siswa ( peserta didik ), di dalam proses belajar mengajar itu terjadi interaksi yang sifatnya saling mempengaruhi demi tercapainya suatu pengajaran yang baik.
 Pengajaran yang baik yakni pengajaran yang secara serentak memberi peluang tujuan intruksional bidang studi dan tujuan-tujuan umum lainnya. Dalam upaya mewujudkan pengajaran yang baik, perlu diketahui bahwa setiap keputusan dan tindakan dalam rangka kegiatan belajar mengajar akan membawa dampak atau efek kepada siswa, misalnya saja sikap dan perilaku guru yang tidak bersahabat, galak, judes, dan kurang berkompeten yang dimana hal tersebut dapat menyebabkan pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. (Tirtarahardja, Umar. 2005: 173)
Kecemasan merupakan salah satu aspek penghambat siswa dalam segi psikologis maupun fisiologis. Kecemasan merupakan kekuatan pengganggu utama yang mengahambat perkembangan hubungan interpersonal yang sehat. (Feist, Jess & Feist, Gregory J. 2010: 260). Sullivan (1953) dalam Feist, Jess & Feist, Gregory J. 2010 : 52 menyatakan bahwa kecemasan ditransfer dari orang tua ke anak melalui proses empati. Kecemasan membuat manusia tidak mampu belajar, merusak ingatan, menyempitkan sudut pandang, dan bahkan dapat menyebabkan amnesia total. Ketika ketegangan menghasilkan tindakan yang secara khusus diarahkan untuk mencapai perasaan lega, kecemasan menghasilkan perilaku yang (1) mencegah manusia untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri, (2) membuat orang tetap mengejar keinginan kekanak-kanakan demi rasa aman, (3) secara garis besar memastikan bahwa manusia tidak akan belajar dari pengalaman mereka. Kecemasan lebih berorientasi masa depan dan bersifat umum, mengacu pada kondisi ketika individu merasakan kekhawatiran, kegelisahan, ketegangan, dan rasa tidak nyaman yang tidak terkendali mengenai kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk. Orang yang mengalami kecemasan dilanda ketidak mampuan menghadapi perasaan cemas yang kronis dan intens, perasaan tersebut sangat kuat sehingga mereka tidak mampu berfungsi dengan baik. (Halgin, Richard P & Withbourne, Susan Krouss.  2010: 198).
Menurut Corey (Corey, Gerald. 2003 : 17), ada tiga macam kecemasan yaitu kecemasan realistis, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral. Kecemasan realistis adalah ketakutan terhadap bahaya dan dunia eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada. Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi dirinya. Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri. Orang yang hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
Sekolah tidak lepas dari kegitan belajar mengajar yang dilakukan oleh pendidik kepada siswanya dan sekolah juga tidak lepas dari kegiatan ujian sekolah yang berupa ulangan semesteran atau kenaikan kelas yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar. Ujian merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilaksankan dalam rangka mengukur penguasaan materi yang telah diberikan dalam waktu jangka tertentu. (Djamarah, Syaiful Bahri. 2008: 110). Ujian sekolah yang berupa ulangan semesteran atau kenaikan kelas akan diberikan kepada siswa oleh sebab itu siswa harus mengetahui bahwa ujian sekolah yang berupa ulangan semesteran atau kenaikan kelas merupakan suatu kurikulum yang telah ditetapkan oleh sekolah. Dengan kata lain seluruh siswa siap atau tidak siap akan menghadapinya. Sebagian siswa ada yang siap untuk menghadapinya tetapi siswa tersebut selalu merasa dirinya tidak mampu untuk melewatinya dan ada juga siswa yang tidak siap yang menghadapinya, sehingga hal tersebut menyebabkan timbulnya kecemasan pada diri siswa.
Kecemasan bukan hanya terjadi kepada siswa yang memiliki kecerdasan rendah tetapi juga bisa terjadi kepada siswa yang memiliki kecerdasan tinggi, hal ini disebabkan karena berpikiran bahwa ujian sekolah yang berupa ulangan semesteran atau kenaikan kelas merupakan penentu keberhasilan meraka, maka tidak jarang ketika melaksanakan ujian atau ulangan kenaikan tersebut meraka merasa gugup atau nerves dan merasa takut apabila meraka tidak bisa menjawab soal yang diberikan, maka hal itulah salah satu timbulnya pemicu kecemasan.
Menanggapi kenyataan di atas sudah sepantas dan selayaknya seluruh personel sekolah (guru, konselor dan kepala sekolah) khususnya konselor bekerja sama dalam mengatasi permasalah yang dialami siswa diatas. Berbagai upaya yang bisa dilakukan oleh konselor sekolah dalam mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya dengan melakukan konseling individual dengan menggunkan teknik systematic desensitization yang dikembangkan oleh Wolpe dalam mengatasi kecemasan. Teknik systematic desensitization bermaksud agar konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli. (Willis, Sofyan S.  2004: 71). Dengan menggunakan relaksasi konselor berupaya membantu siswanya. Relaksasi merupakan teknik yang betujuan agar konseli merasa rileks dan tenang dari keadaan sebelumnya yang mempunyai tahapan  yang dijelaskan dalam kaijan pustaka. (Fauzan, Lutfi. 2008: 4)
Layanan konseling individual atau perorangan yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik yang mendapatkan layanan langsungsecara tatap muka (face to face) dengan guru pembimbing atau konselor dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahannya. (Sukardi, Dewa Ketut 2008: 63). Konseling individual atau perorangan bersifat holistic dan mendalam serta menyentuh hal-hal penting tentang diri konseli, tetapi juga bersifat spesifik menuju kearah pemecahan masalah sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui konseling individual atau perorangan konseli akan memahami dirinya sendiri, lingkungannya, permasalahan yang dialami, kekuatan dan kelemahan dirinya, serta kemungkinan upaya untuk mengatasi masalahnya. (Tohirin. 2007: 164). Layanan konseling individual atau perorangan merupakan bentuk layanan yang paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengentasan masalah konseli. Dengan kata lain layanan konseling individual atau perorangan dalam pelaksanaannya menuntut persyaratan dan mutu usaha yang sungguh-sungguh. (Soeparman. 1998: 58)
Berdasarkan fakta realita dilapangan yang diperoleh dari hasil interviu terhadap salah satu siswa dan interviu terhadap mahasiswa bimbingan konseling yang sudah pernah melaksanakan PPL di SMA Negeri 1 Banjarmasin masih ada siswa yang mengalami kecemasan berupa ketegangan ketika melaksanakan ulangan semester. Harapan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam pelaksanaan layanan konseling individual atau perorangan di SMA Negeri 1 Banjarmasin hendakanya para konselor sebelum melaksanakan layanan konseling individual atau perorangan tersebut harus terlebih dahulu memperhatikan dan memahami secara sungguh-sungguh tahapan-tahapan serta tekhnik-tekhnik dan pendekatan serta teori  yang harus dilakukan oleh seorang konselor dalam pelaksanaan layanan konseling individual atau perorangan tersebut, dengan cara membaca kembali buku pedoman tentang teknik pelaksanaan layanan konseling individual dan memahaminya, agar konseli dapat merasakan manfaat dari layanan yang diberikan. Berdasarkan permasalah di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Keefektifan Teknik Konseling Systematic Desensitization Dalam Mengatasi Kecemasan Siswa Kelas X Terhadap Ujian Sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin ”.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
1.         Bagaimana tingkat kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin sebelum/pra diberikan teknik systematic desensitization ?
2.         Bagaimana tingkat kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin setelah/post diberikan teknik systematic desensitization ?
3.         Bagaimana teknik systematic desensitization efektif mengatasi  kecemasan siswa di SMA Negeri 1 Banjarmasin ?

C.      Batasan Masalah
Agar masalah yang diteliti lebih terarah pada hal-hal sekitar permasalahan dan sasaran  yang dimaksud, maka masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.         Bagaimana gambaran tingkat kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin sebelum/pra diberikan teknik systematic desensitization
2.         Bagaimana gambaran tingkat kecemasan siswa terhadap ujian sekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin setelah/post diberikan teknik systematic desensitization
3.         Bagaimana gambaran teknik systematic desensitization efektif mengatasi  kecemasan siswa di SMA Negeri 1 Banjarmasin.

D.      Tujuan Penelitian

1.      Untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin sebelum diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization.
2.      Untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin setelah diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization.
3.      Untuk mengetahui korelasi keefektifan teknik systematic desensitization dalam mengatasi kecemasan siswa terhadap ujian sekolah.

E.       Kegunaan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak, terutama pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun pihak-pihak yang dimaksud yakni sebagai berikut :
1.         Kepala Sekolah
Sebagai informasi tambahan dalam melakukan pengawasan terhadap konselor dalam melaksanakan kegiatan layanan konseling individual.
2.         Guru Mata Pelajaran
Sebagai bahan informasi tambahan guna meningkatkan kualitas pengajaran agar mencapai hasil yang optimal, serta menyampaikan informasi kepada siswa bahwa konselor juga dapat menjalin kerjasama dengan guru mata pelajaran guna membantu siswa dalam mengentaskan masalahnya dalam bentuk layanan konseling individual.


3.         Konselor Sekolah
Sebagai bahan informasi untuk memilih layanan yang mana yang tepat untuk mengetahui siswa lebih mendalam guna membantu mengentaskan masalah yang dihadapi.
4.         Siswa
Sebagai bahan informasi yang berguna bagi siswa untuk memahami maksud dan tujuan dari pemberian layanan oleh konselor, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
5.         Peneliti
Digunakan untuk menambah ilmu pengetahuan sebagai hasil dari observasi secara langsung mengenai masalah layanan konseling individual, guna peneliti kelak dapat memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kebutuhan siswa.
6.         FKIP Unlam
Sebagai bahan informasi data ilmiah guna mengembangkan ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan serta menjadi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

F.       Definisi Opersasional

1.         Konseling
Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan, di mana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara atau interviu dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara guru pembimbing (konselor) dengan konseli (klien). (Asmani, Jamal Ma’mur. 2010: 37)
2.         Teknik Systematic Desensitization
Systematic Desensitization merupakan teknik yang digunakan untuk mencegah respon ketakutan dan mengganti respon ketakutan tersebut melalui aktivitas lain. Teknik ini diberikan dengan menggunakan metode relaksasi, dimana dalam metode ini ada tiga tahapan yang akan dilakukan yaitu tahap relaksasi, tahap pengembangan hirarki kekhawatiran dan tahap penggunaan teknik systematic desensitizitation.(Fauzan, Lutfi. 2008: 5)
3.         Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern tubuh. (Hall, Calvin S. 1995: 56)
4.         Ujian adalah suatu kegiatan yang mutlak dilaksanakan dalam rangka mengukur penguasaan materi yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu. (Djamarah, Syaiful Bahri. 2002 : 126)
5.         Siswa merupakan subjek yang diberikan bimbingan yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas. (Tirtarahardja, Umar .2005: 51 )
6.         Keefktifan adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas, waktu) yang telah tercapai. ( Artati, Y. Budi. 2010 : 38)

II.          KAJIAN PUSTAKA
A.      Konseling Individual
1.         Pengertian Konseling Individual
                 Layanan konseling merupakan layanan untuk membantu individu menyelesaikan masalah-masalah, terutama masalah pribadi yang mereka hadapi. Layanan ini bersifat terapeutik dan hanya dapat diberikan oleh pembimbing yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang bimbingan dan konseling atau psikolog. (Nurihsan, Achmad Juntika & Sudianto, Akur. 2005: 20). Konseling merupakan bentuk khusus dari usaha bimbingan, yaitu suatu pelayanan yang diberikan oleh konselor kepada seseorang secara perseorangan atau kelompok. (Sukardi, Dewa Ketut, & Kusmawati, Nila. 2008: 6). Konseling memegang peranan penting dalam bimbingan, sering disebut sebagai jantungnya bimbingan (counseling is the heart of guidance), konseling sebagai inti bimbingan (counseling is the core of guidance), konseling sebagai pusatnya bimbingan (counseling is the centre of guidance). Sebab dikatakan jantung hati, inti, atau pusat karena konseling ini merupakan layanan atau teknik bimbingan yang bersifat terapeutik atau bersifat menyembuhkan (curative). (Hikmawati, Fenti. 2010: 2-3)
                 Layanan konseling individual atau perorangan adalah layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik yang mendapatkan layanan langsung secara tatap muka dengan guru pembimbing atau konselor dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahannya. (Sukardi, Dewa Ketut. 2008: 63). Layanan konseling individual atau perorangan  yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien/konseli) mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing (konselor) dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya. Layanan konseling perorangan memungkinkan siswa  (konseli) mendapatkan layanan langsung secara tatap muka dengan guru pembimbing (konselor) dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahannya. Fungsi utama bimbingan yang didukung oleh pelayanan konseling perorangan atau individual ialah fungsi pengentasan. (Sukardi, Dewa Ketut & Kusmawati, Nila. 2008: 62)


2.         Pengertian Teknik Systematic Desensitization
                 Desensitisasi sistematik (systematic desensitization) dikembangkan dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh proses perbaikan  (treatment) ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan dan respon sering dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penanganan. Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatiran. Pembongkaran bertahap atau berangsur terhadap rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di dalam fantasi orang tersebut ketika dia diminta membayangkan situasi yang serba menakutkan atau hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Wolpe mengistilahkan prinsip yang mendasari proses ketidakpekaan tersebut dengan reciprocal inhibition. Dia menjelaskan prinsip dasar tersebut sebagai berikut: “Jika respon inhibitori terhadap kekhawatiran dapat dipaksa terjadi di keberadaan rangsang kekhawatiran, hal tersebut akan melemahkan hubungan antara rangsangan-rangsangan tersebut dan respon kekhawatiran”. (Fauzan, Lutfi. 2008: 4-5)

3.         Tujuan Teknik Systematic Desensitization
Teknik  desensitisasi sistematik ini bertujuan untuk mengajar klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami. (Willis, Sofyan S 2004: 71)
Teknik systematic desensitizitation juga bertujuan untuk mengajarkan klien untuk memindahkan respon ketakutan kepada aktivitas lainnya, membongkar rangsangan stimulus yang berlangsung dalam fantasi. (Fauzan, Lutfi 2008: 4)

4.         Prosedur Praperlakuan
Sebelum memulai langkah utama penerapan prosedur desensitisasi sistematik, konselor terlebih dahulu melakukan pendahuluan. Tiga hal pokok yang dijadikan sasaran pada setiap tahapan awal proses konseling, yaitu pembinaan hubungan konselor-konseli, penstrukturan, dan penjajagan masalah konseli.
a.         Wawancara Awal
Konselor pertama-tama harus mengidentifiksi ketakutan konseli atau phobia dan latar belakang peristiwa yang menyebabkan ketakutan tersebut muncul. Hal ini dilakukan dalam situasi yang menyenangkan dengan konseli, memahami kesulitan konseli dan secara tulus mengerti kesejahteraan konseli. Konselor harus menyelediki secara menyeluruh sejarah kehidupan konseli untuk membuat yakin konselor dalam memahami secara jelas seluruh aspek ketakutan konseli dan berbagai faktor yang mendukung ketakutan atau fobia tersebut. Wawancara juga akan mendukung konselor atau menyangkal berbagai hipotesis tentang masalah konseli, mengkhususkan tujuan konseling, menentukan metode pengurangan ketakutan yang paling tepat untuk konseli dan apakah treatment obyektif dapat dicapai dengan pembatasan pada sejarah kehidupan konseli. Oleh karena itu wawancara awal mungkin akan berlangsung lebih dari sekali pertemuan, meskipun tidak ada pendekatan standar tentang pertanyaan yang digunakan dalam wawancara tersebut.
b.        Identifikasi Sasaran Perilaku
Upaya ini akan membantu konseli mengidentifikasi apa yang sebenarnya mengganggunya tetapi juga menentukan macam situasi dan dalam keadaan macam apa kecemasan terjadi. Konselor menanyakan lamanya konseli mempunyai kecemasan, apakah lebih buruk atau lebih baik dari biasanya dan menanyakan pendapatnya tentang perasaannya terhadap kecemasan.
c.         Keterangan latar belakang konseli secara umum
Diskusi memusatkan pada tanggal dan tempat lahir konseli, jumlah dan umur saudaranya, kedudukan konseli dalam silsilah keluarga, catatan restropektif macam atau jenis hubungan konseli dengan saudaranya, orang tua dan orang lain ketika tumbuh dewasa. Penyelidikan diarahkan kepada anak mana yang disenangi di keluarga, begitu juga bagaimana konseli melihat sikap ketika dia diperlakukan oleh tiap anggota keluarganya dibandingkan dengan perlakuan terhadap anak-anak yang lain. Konselor juga harus mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan lainnya seperti siapa dalam keluarga yang menekankan disiplin, bagaimana konseli dihukum karena kenakalannya sewaktu anak-anak dan remaja dan sifat-sifat yang bagaimana pada tiap orang tua yang disukai dan paling tidak disukai oleh konseli. Hal ini juga sangat penting untuk mengetahui sikap atau tingkah laku orang tua dalam berinteraksi dengan orang lain dan menentukan macam model peraturan yang diberlakukan untuk konselinya.
d.        Informasi Sekolah atau Pekerjaan
Penyelidikan mengenai sekolah konseli harus mencakup  tentang kesukaan dan ketidaksukaan konseli di sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Mata pelajaran apa yang paling disukai dan paling tidak disukai; apa yang sering dilakukan konseli setelah pulang sekolah; kegiatan ekstrakurikuler apa yang diikuti konseli dan sebagainya. Konselor juga harus mendiskusikan hubungan konseli di dalam lingkungan sekolah dan luar sekolah.
e.         Informasi Pacaran
Konselor harus memeriksa pola pacaran konseli selama remaja, karena topik-topik tersebut sangat sensitif untuk dibahas dalam rangka berpikir positif  yang dapat memberikan pemahaman dan penerimaan pada diri konseli. (Fauzan, Lutfi. 2008: 5-9)

5.         Prosedur Teknik Desensitization
Ada tiga langkah utama dalam penggunaan desensitisasi sistematik, yaitu latihan relaksasi, pengembangan hierarki kekhawatiran dan penggunaan desensitisasi sistematik yang tepat. (Fauzan, Lutfi. 2008: 25)




a.         Latihan Relaksasi
1)        Tarik nafas dalam-dalam dan tahan selama 10 detik kemudian lepaskan. Biarkan lengan Anda dalam posisi di atas paha atas lepas begitu saja.
2)        Angkat tangan Anda kira-kira separuh sofa (atau pada sandaran kursi) kemudian berbafaslah secara normal. Letakkan tangan Anda di atas sofa
3)        Sekarang pegang lengan Anda lalu kepalkan dengan kuat. Rasakan ketegangannya dalam hitungan  sampai tiga dan pada hitungan yang ketiga  letakkan tangan Anda.
4)        Angkat tangan Anda kembali, tekuk jemari Anda ke belakang (ke arah tubuh Anda). Sekarang letakkan tangan Anda dan tenanglah.
5)        Angkat tangan Anda sekarang, letakkan kemudian rileks
6)        Sekarang rentangkan lengan Anda dan tegangkan otot bisep anda yakinlah bahwa Anda bernafas normal setelah itu rileks.
7)        Putar kepala anda ke kanan, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi pertama.
8)        Putar kepala anda ke kiri, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi pertama.
9)        Bengkokkan kepala sedikit ke belakang, tahan lalu kembali ke posisi semula.*
10)    Tunduk kepala kebawah sampai hampir menyentuh dagu menyentuh dada, tahan kemudian rileks dan kembali ke posisi semula.*
11)    Tarik nafas dalam-dalam, tahan, hembuskan keluar kemudian rileks (perhatikan perasaan lapang saat kamu menghembuskan nafasmu)
12)    Sekarang laayangkan pikiran anda ke suasana yang paling anda suka dan mudah membawa anda ke suasana tenang. Nikmati , betapa anda bahagia berada dalam suasana itu.
13)    Rasakan bahwa ketenangan telah menjalar dan merasuk ke seluruh tubuh dan jiwa anda
14)    Setelah beberapa saat bukalah mata anda, dan tetap rasakan suasana nyaman dan ketenangan diri anda.
Catatan : Diadapatasi dari Jacobson (1938), Rimm (1967, komunikasi pribadi), dan Wolpe dan Lazarus 1966
*Konseli jangan dipaksa untuk membengkokkan lehernya ke segala arah baik kedepan maupun kebelakang.
(Fauzan, Lutfi. 2008: 51-54)

b.        Pengembangan Hierarki Kekhawatiran
Dalam penyelasaian wawancara awal dan lama relaksasi para konselor mulai merencanakan hierarki kekhawatiran dengan konseli untuk setiap kecemasan yang diketahui. Hierarki ini didasarkan pada kecemasan yang telah disepakati konselor dan konseli sebagai perubahan yang diinginkan dan treament yang dilakukan konselor. Pada sesi akhir relaksasi yang pertama, konseli diberi kartu indeks sistem pencatatan perlakuan dan diminta untuk datang kembali mengisi kartu tersebut yang masing-masing berisi gambaran yang menyebabkan kecemasan sampai tingkat tertentu.
c.         Penggunaan Desensitisasi Sistematik Yang Tepat
Tahap desensitisasi pertama  dimulai dengan membiarkan konseli menenangkan dirinya di sofa atau kursi reclining kira-kira 3-5 menit. Selama waktu tersebut konselor menganjurkan konseli bahwa ia telah lebih rileks dan telah mencapai tingkat relaksasi yang lebih dalam lagi.konseli juga diminta untuk mengindikasi, dengan mengangkat jari telunjuk tangannya, disaat ia mencapai kondisi sangat tenang dan nyaman. Setelah konseli memberi syarat konselor memintanya untuk memvisualisasikan  beberapa suasana kecemasan yang di alami. Konselor meminta membayangkan tiap-tiap suasana yang jelas dan nyata. Jika konseli merasakan sedikit lebih cemas atau tegang ketika dia membayangkan suasana tertentu, dia akan diberitahu secaepatnya dengan jari tangan. Pada titik ini konselor meminta konseli untuk mengindikasikan dengan menggunakan jari telunjuk jika dia masih merasa sangat tenang dan rileks. Jika konseli memberi tanda konselor menghadirkan pengendali situasi. Setelah situasi terakhir disajikan pada tahap tertentu, konselor meminta konseli untuk tetap rileks beberapa saat. Kemudian konselor memulai fase terakhir dengan mengatakan : “Tenang saja, rasakan perasaan nyaman dan senang. Saya ingin anda mempertahankan kondisi ini sampai saya hitung sampai hitungan ke lima. Ketika saya sampai pada hitungan ke lima saya ingin kamu membuka mata dan merasaklan perasaan sangat tenang dan senang. (jeda) Satu rasakan perasaan tenang, Dua tenang, Tiga sangat gembira empat dan lima”. (Fauzan, Lutfi. 2008: 24-35)

B.       Kecemasan
1.         Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat interen dari tubuh. Ketegangan-ketegangan ini adalah akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat saraf yang otonom. Kecemasan berbeda dari keadaan-keadaan yang menyakitkan lainnya, seperti ketegangan, rasa nyeri, dan kesayuan oleh adanya satu keadaan tertentu pada alam sadar. (Hall, Calvin S. 1995: 56-57).  Dalam kehidupan sekarang ini sering dikatakan “age of anxiety” abad kecemasan. Tetapi sepanjang sejarah kehidupan manusia, terjadi kecemasan. Kecemasan adalah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kecemasan, dijelaskan oleh Abe Arkoff sebagai berikut: Anxiety as a state of arousal caused by threat to well-being.
Act
conflict
Goal
anxiety
frustration






Jadi, kecemasan adalah suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan. (Sundari, Siti. 2005: 50-51). Individu-individu yang tergolong normal kadangkala mengalami kecemasan yang menampak, sehingga dapat disaksikan pada penampilan yang berupa gejala-gejala fisik maupun mental. Gejala tersebut lebih jelas pada individu yang mengalami gangguan mental lebih jelas lagi bagi individu yang mengidap penyakit mental yang parah. Kecemasan terjadi karena individu tidak mampu mengadakan penyesuaian diri terhadap diri sendiri di dalam lingkungan pada umumnya. Kecemasan itu timbul karena manifestasi perpaduan bermacam-macam proses emosi, misalnya orang sedang mengalami frustasi dan konflik. Kecemasan yang disadari misalnya rasa berdosa. Kecemasan diluar kesadaran dan tidak jelas misalnya takut yang sangat, tetapi tidak diketahui sebabnya.
Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat menganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.(http://akhmadsudrajat.Wordpress.com, diakses 16 maret 2011).
 Anxiety atau kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu bila bukan merupakan respon terhadap perubuahan lingkungan. Dalam bentuknya yang ekstrem, kecemasan dapat menganggau fungsi kita sehari-hari.(Rathus, Spencer A. 2005: 163). Dari teori kecemasan, menurut teori Interpersonal dikatakan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak berharga. ( http:// Perawatpsikiatri.blagspot.com. 24 desember 2010)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah sesuatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental, kesukaran dan tekanan sebagai, kesedihan, ketakutan, dan kegelisahan tentang masalah atau perasaan sakit yang sudah diantisipasi atau yang akan dialami di masa mendatang.

2.         Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
a.         Pengalaman negatif pada masa lalu
Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada mas mendatang, apabila individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak menyenangkan, misalnya pernah gagal dalam tes. Hal tersebut merupakan pengalaman umum yang menimbulkan kecemasan siswa dalam menghadapi tes.


b.        Pikiran yang tidak rasional
Ellis dalam Adler dan Rodman (1991) member daftar kepercayaan atau keyakinan kecemasan sebagai contoh dari pikiran tidak rasional yang disebut buah kesempurnaan, persetujuan, dan generalisasi yang tidak tepat.
1)        Kegagalan Katastropik
Kegagalan katastropik, yaitu adanya asumsi dari diri individu bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Individu mengalami kecemasan dan perasaan ketidakmampuan serta tidak sanggup mengatasi permasalahannya.
2)        Kesempurnaan
Setiap individu menginginkan kesempurnaan. Individu ini mengharapkan dirinya berperilaku sempurna dan tidak ada cacat. Ukuran kesempurnaan dijadikan target dan sumber inspirasi bagi individu tersebut.
3)        Persetujuan
Persetujuan adanya keyakinan yang salah didasarkan pada ide bahwa terdapat hal virtual yang tidak hanya diinginkan, tetapi juga untuk mencapai persetujuan dari sesama teman atau siswa.
4)        Generalisasi yang tidak tepat
Keadaan ini juga memberi istilah generalisasi yang berlebihan. Hal ini terjadi pada orang yang mempunyai sedikit pengalaman.



Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan adalah faktor internal dan factor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat religiustas yang rendah, rasa pesimis, takut gagal, pengalaman negatif masa lalu, dan pikiran-pikiran tidak rasional. Sementara eksternal seperti kurangnya dukungan sosial.  (Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini.  2010: 145-147)

3.         Macam-Macam Kecemasan
Freud mengemukakan ada tiga jenis kecemasan, yaitu:
a.         Kecemasan Realitas (Reality Anxiety)
Kecemasan realitas ( reality anxiety) merupakan kecemasan individu akibat dari ketakutan mengahadapi realitas sekitarnya. Kecemasan tentang kenyataan adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya adalah setiap keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk mecelakakannya.
b.        Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)
Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) merupakan kecemasan karena khawatir tidak mampu mengatasi atau menekan keinginan-keinginan primitifnya. Kecemasan neurotis ditimbulkan oleh suatu pengamatan tentang bahaya dari naluri-naluri. Kecemasan ini adalah suatu rasa ketakutan tentang apa yang mungkin terjadi, sekiranya anticathexis dari ego gagal untuk mencegah cathexis onyek dari naluri-naluri meredakn dirinya dalam suatu tindakan yang impulsif. Kecemasan neurotis dapat diperlihatkan dalam tiga bentuk, yaitu ada bentuk kecemasan yang berkisar dengan bebas dan melekatkan dirinya dengan segera kepada sesuatu kedaan lingkungan yang kira-kira cocok. Kecemasan semacam ini menjadi sifat dari seorang yang gelisah, yang selalu mengira, bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. Suatu bentuk kecemasan neurotis yang dapat dilihat adalah ketakutan yang tegang dan irrasional. Kecemasan neurotis selalu berdasarkan kecemasan tentang kenyataan, dalam arti kata bahwa seseorang harus menghubungkan suatu tuntutan naluriah dengan bahaya dari luar sebelum ia belajar merasa takut terhadap naluri-nalurinya. Kecemasan neurotis adalah daerah kepribadian kita sendiri, maka lebih sulitlah untuk menghadapinya dan sama sekali tidak mungkin untuk lari darinya.
c.         Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan moral (moral anxiety) merupakan kecemasan akibat dari rasa bersalah dan ketakutan dihukum oleh nilai-nilai yang ada pada hati nuraninya. Kecemasan moral yang dialami sebagai suatu perasaan bersalah atau malu dalam ego, ditimbulkan oleh suatu pengamatan mengenai bahaya dari hati nurani.

4.         Aspek-Aspek Kecemasan
Deffenbacher dan Hazeleus dalam Register (1991) mengemukakan bahwa sumber penyebab kecemasan, meliputi hal-hal di bawah ini :
a.         Kekhawatiran (Worry)
Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri, seperti perasaan negatif bahwa ia lebih jelek dibandingkan dengan teman-temannya.
b.        Emosionalitas (imosionality)
Emosionalitas (imosionality) sebagai reaksi diri terhadap rangsangan saraf otonom, seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tegang.
c.         Gamgguan dan hambtan dalam menyelesaikan tugas (task generated interference)

Gangguan dan hambatan dalam menyelsaikan tugas merupakan kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas. (Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010: 143-144)
Spielberger, Liebert, dan Morris dalam (Elliot, 1999); Jeslid dalam Hunsley (1985); Mandler dan Saroson dalam Hockey (1983); Gonzales, Tayler. Dan Anton dalam Frietman (1997) telah mengadakan percobaan konseptual untuk mengukur kecemasan yang dialami individu dan kecemasan  tersebut didefinisikan sebagai konsep yang terdiri dari dua dimensi utama, yaitu kekhawatiran dan emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem saraf otonomik yang timbul akibat situasi atau objek tertentu. Juga merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal burukyang dirasakan yang mungkin terjadi terhadap sesuatu yang akan terjadi, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan yang dialami berupa pikiran negatif tentang diri dan lingkungannya dan perasaan negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan marasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.
Shah (2000) membagi kecemasan menjadi tiga komponen, yaitu :
a.         Komponen fisik, seperti pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut mual, mulut kering, grogi dan lain-lain.
b.        Emosional seperti panik dan takut.
c.         Mental atau kognitif, seperti gangguan perhatian dan memor, kekhawatiran, ketidaketeraturan dalam berpikir, dan bingung.


Selain itu, ada tiga komponen yang ada pada kecemasan menghadapi tes, yaitu kekhawatiran (worry), emosionalitas (imosionality), serta gangguan dan hambatan dalam menyelsaikan tugas (task generated). (Ghufron M. Nur, & Risnawati S, Rini. 2010: 143-144)

5.         Dinamika Kecemasan
Individu yang mengalami kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya karena adanya pengalaman negatif perilaku yang telah dilakukan, seperti kekhawatiran akan adanya kegagalan. Merasa frustasi dalam situasi tertentu dan ketidak pastian melakukan sesuatu.
Dinamika kecemasan, ditinjau dari teori psikoanalisis dapat disebabkan oleh adanya tekanan buruk perilaku masa lalu serta adanya gangguan mental. Ditinjau dari teori kognitif, kecemasan terjadi karena adanya evaluasi diri yang negatif. Perasaan negatif tentang kemampuan yang dimilikinya dan orientasi diri yang negatif. Berdasarkan pandangan teori humanistik, maka kecemasan merupakan kekhawatiran tentang masa depan, yaitu khawatir pada apa yang akan dilakukan.
Jadi, dapat diketahui bahwa kecemasan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kekhawatiran akan kegagalan, frustasi pada hasil tindakan yang lalu, evaluasi diri yang negatif, perasaan diri yang negatif tentang kemampuan yang dimilikinya, dan orientasi diri yang negatif. (Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010: 144-145)


6.         Gangguan-Gangguan Kecemasan
Ada beberapa macam gangguan kecemasan meliputi :
a.         Gangguan Panik
Dalam gangguan panik seseorang mengalami serangan mendadak dan sering kali tidak dapat dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang tidak mengenakkan, kesulitan bernafas, jantung berdebar, mual, nyeri dada, dan lain-lain. Dua teori yaitu bilogis dan psikologis telah digunakan untuk menjelaskan gangguan panik. Teori biologis  menyebutkan sensai fisik yang disebabkan oleh suatu penyakit memicu beberapa orang mengalami gangguan panik, sedangkan teori psikologis utama mengenai agorafobia yang sering menyertai gangguan panik adalah hipotesis ketakutan terhadap ketakutan (Goldstein & Chmabless, 1978), yang berpendapat bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat umum. (C, Gerald. 2006: 198-204)
b.        Gangguan Kecemasan Menyeluruh
Gangguan kecemasan menyeluruh (Generalized anxiety disorder/GAD) ditandai oleh perasaan cemas yang persisten yang tidak dipicu oleh suatu objek, situasi, atau aktivitas uang spesifik, tetapi yang lebih merupakan disebut Freud sebagai “mengembung bebas” (free floating). Ciri utama dari GAD adalah rasa cemas. Orang dengan GAD adalah pencemas yang kronis. Ciri lain yang terkait adalah merasa tegang, was-was, tau khawatir, mudah lelah, mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau menemukan bahwa pikirannya menjadi kosong, iritabilitas, ketegangan otot, dan adanya gangguan tidur. GAD cenderung merupakan suatu gangguan yang stabil, muncul pada pertengahan remaja sampai umur 20-an dan kemudian berlangsung seumur hidup (Rapee,1991). ( Rathus, Spancer A. 2005:167)
c.         Gangguan Fobia
Phobia adalah ketakutan atau kecemasan yang abnormal, tidak rasional dan tidak bisa dikontrol terhadap suatu situasi atau objek tertentu, merupakan ketakutan khas neorisis, yang menimbulkan macam-macam bentuk kecemasan atau ketakutan. Sebab-sebab terjadinya Phobia :
1.        Pernah mengalami ketakutan yang hebat.
2.        Pengalaman ini diikuti oleh rasa malu dan rasa-rasa bersalah, kemudian semuanya ditekan (repressed) untuk melupakan kejadian-kejadian tersebut.
3.        Jika mengalami stimulus yang serupa, timbulah respons ketakutan yang bersyarat kembali, walaupun pengalaman yang asli sudah dilupakan, respons-respons ketakutan hebat selalu timbul kembali, walau ada usaha-usaha untuk menekan dan melenyapkan respons-respons tersebut.
Menurut A. Supratiknya (1995) pada umumnya phobia timbul karena proses belajar yang tidak semestinya (faulty learning), karena hal tersebut dapat terwujud dalam situasi lain, misalnya :
1.        Seorang wanita mengalami trauma karena menyaksikan copet giwang seorang anak dengan paksa hingga telinga berdarah. Jadi , wanita itu mengaitkan keadaan atau peristiwa waktu terjadi trauma.
2.        Sebagai cara untuk mempertahankan diri terhadap kecemasan akibat memiliki sifat agresif atau jahat. Seorang suami yang cemburu terhadap istrinya, berniat memasukkan istrinya ke dalam sumur. Untuk mempertahankan diri, menjadi phobia terhadap sumur, dengan demikian menjadi terbebas dari kecemasan terhadap sifat jahatnya.
3.        Sebagai cara untuk mengalihkan kecemasan. Dengan memindahkan ke hal lain, kecemasan menjadi terbebas. Misalnya seorang karyawan yang merasa khawatir terkena PHK dari perusahaan tempat bekerja , tiba – tiba menjadi sangat takut naik lift.
Untuk penyembuhan penderita phobia dengan menolongnya untuk memahami phobianya masing – masing dan mempelajari cara – cara yang efektif dalam mengatasi kecemasan maupun situasi kejadian yang ditakutinya. (Rathus, Spancer A. 2005:1168-169)
d.        Gangguan Obsesif-Kompulsif
Obsesif (pengepungan) ialah ide-ide atau emosi yang terus -menerus melekat dalam pikiran atau hati seseorang dan tidak mau hilang atau penderita seolah – olah dikepung atau dicengkeram oleh pikiran – pikirang tertentu yang tidak masuk akal ( tidak logis). Makin besar usaha untuk melepas diri, makin besar pula gangguan pikiran yang mencengkeram. Individu yang bersangkutan secara sadar selalu berusaha untuk menghilangkannya. Asal mulanya obsesi tidak diketahui oleh sipenderita itu sendiri. Sebab-sebab terjadinya obsesif, menurut freud:


1.        Penekanan dari pengalaman-pengalaman seksual dimasa lampau. Ada pengalaman godaan seksual yang diikuti oleh agresi seksual.
2.        Timbul konflik diantara kecendrungan untuk melakukan sesuatu perbuatan, sebab didorong satu nafsu keinginan, melawan ketakutan yang hebat untuk melakukannya atau takut akan konsekuensi akibat dari perbuatan tadi. Juga ada konflik kronis diantara elemen-elemen yang terkait itu.


Kompulsif adalah tandens atau influs yang tidak tertahankan atau tidak bisa dicegah untuk melakukan suatu perbuatan, bahasa sederhananya mengalami keraguan – raguan mengenai sesuatu yang dikerjakan hingga menjadi perbuatan yang serupa berulang kembali. Tendensi keinginan ini tidak bisa dikontrol dan dikendalikan, serba bertentangan dengan kemauan yang sadar sewaktu melakukannya. Sebab-sebab terjadinya Kompulsif
1.        Repressi dari pengalaman lama, ada truma mental dan trauma emosional.
2.        Ada konflik-konflik antara nafsu keinginan-keinginan dengan ketakutan-ketakutan .
3.        Ada kebiasaan-kebiasaan tertentu.
4.        Perbuatan-perbuatan kompulsif itu merupakan subtitusi atau pergantian dari keinginan-keinginan yang ditekan.

Bentuk-bentuk tingkah laku Kompulsif
1.        Kleptomania       : tendensi yang tidak bisa dicegah untuk mencuri.
2.        Pyromania : tendensi yang tidak dapat dicegah untuk membakar.
3.        Dipsomania        : tendensi yang tidak dapat dicegah untuk selalu bepergian, berpindah tempat, mengembara atau jalan kemana-mana.
4.        Perbuatan ritualistic       : tendensi yang tidak dapat dicegah untuk melakukan suatu perbuatan yang melambangkan satu ide.
Simptom reaksi obsesif-kompulsif adalah kekacauan psikhoneurotis  dengan kecemasan-kecemasan yang berkaitan dengan pikiran-pikiran untuk melakukan suatu perbuatan. Penderita sadar kalau pikiran dan kecemasan itu sia-sia, tidak pantas, atau tidak perlu, namun ia tidak mau mengontrolnya. Sebab dia dikuasai oleh simptom kecemasan tersebut, dan dengan sia-sia melawan pikiran dan kecemasannya.
Obsesif-kompulsif gejalanya adanya pikiran atau perasaan atau keyakinannya yang sangat kuat tentang suatu hal yang diikuti dengan kecenderungan untuk terus menerus melakukan hal tersebut. Walaupun yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa hal tersebut tidak masuk akal. Obsesif-kompulsif ini menurut Freud, merupakan akibat dari adanya perasaan berdosa (biasanya yang menyangkut seks) yang disimpan dalam alam ketidaksadaran seseorang. (C, Gerald. 2006: 214-219)
e.         Gangguan Stres Akut dan Gangguan Stres Pascatrauma
Gangguan sters pascatrauma merupakan masa setelah pengalaman traumatis dimana seseorang mengalami peningkatan kemunculan, penolakan stimuli yang diasosiakan dengan kejadian traumatis yang dialami, dan kecemasan yang disebabkan oleh ingatan terhadap peristiwa tersebut. Sedangkan gangguan stres akut merupakan simtom-simtonya sama dengan gangguan stres pascatrauma, namun hanya berlangsung selama empat minggu atau kurang. (C, Gerald 2006: 183)

7.         Mekanisme Pertahanan Diri
Bentuk-bentuk mekanisme pertahan diri, yaitu :
a.         Penyangkalan (Denial)
Penyangkalan adalah pertahanan melawan kecemasan dengan “menutup mata” terhadap keberadaan kenyataan yang mengancam. Individu menolak sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan kecemasan. Kecemasan atas kematian yang dicintai misalnya, sering dimanifestasikan oleh penyangkalan terhadap kematian. Dalam peristiwa-peristiwa tragis seperti perag atau bencana-bencana lainnya, orang-orang sering bekencederungan membutakan diri terhadap kenyataan-kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk diterima.
b.        Proyeksi (Projection)
Proyeksi merupakan mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain. Seseorang melihat pada diri orang lain hal-hal itu pada diri sendiri. Jadi, dengan proyeksi seseorang akan mengutuk orang lain karena “kejahatnnya” dan menyangkal memiliki dorongan jahat seperti itu. Untuk menghindari kesakitan karena mengakui bahwa di dalam dirinya terdapat dorongan yang dianggap jahat, ia memisahkan diri dari kenyataan ini.
c.         Fiksasi
Menjadi “terpaku” pada tahap-tahap perkembangan yang lebih awal karena mengambil tahap ke langkah selanjutnya bisa menimbulkan kecemasan. Anak yang terlalu bergantung menunjukkan pertahanan berupa fikasi: kecemasan menghambat si anak belajar mandiri.
d.        Regresi (Regression)
Melangkah mundur ke fase perkembangan yang lebih awal tuntutan-tuntutannya tidak terlalu besar, contohnya seorang anak yang takut sekolah menunjukkan tingkah laku infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, bersembunyi. Atau ketika adiknya lahir, seorang anak kembali menunjukkan tingkah laku yang kurang matang.
e.         Rasionalisasi (Rationalization)
Meciptakan alasan-alasan yang “baik” guna menghindarkan ego dari cedera; memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjdi tidak begitu menyakitkan. Orang yang tidak memperoleh kedudukan mengemukakan alasan,mengapa dia begitu senang tidak memperoleh kedudukan yang sesungguhnya yang diinginkan. Atau seorang pemuda yang ditingalkan kekasihnya, guna menyembuhkan egonya yang terluka ia mengibur diri bahwa si gadis tidak berharga dan bahwa dirinya akan menendangnya.
f.         Sublimasi (Sublimation)
Menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya. Contohnya, doirongan agresif yang ada pada seseorang disalurkan kedalam aktivitas bersaing di bidang olahraga sehingga dia menemukan jalan bagi pengungkapan perasaan agresifnya, dan sebagai tambhan dia bisa memperoleh imbalan apabila ia berprestasi di bidang olahraga tersebut.
g.        Pengalihan (Displacement)
Mengarahkan energi atau objek kepada orang lain apabila objek asal atau orang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau. Seorang anak ingin menendang orang tuanya kemudian menendang adiknya atau, jika tidak ada adiknya menendang kucing.
h.        Represi
Melupakan isi kesadaran yang traumatis atau bisa membangkitkan kecemasan; mendorong kenyataan yang tidak bisa diterima kepada ketaksadaran, atau menjadi tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan. Represi, merupakan salah satu konsep Freud yang paling penting, menjadi basis bagi banyak pertahanan ego lainnya dan bagi gangguan-gangguan neurotik.
i.          Formasi Reaksi
Melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar; jika perasaan-perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman, maka seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawananguna menyangkal perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan ancaman itu. Contohnya seorang ibu yang memiliki perasaan menolakterhadap ankanya, karena adanya perasaan berdosa, ia menampilkan tingkah laku yang berlawana, yakni terlalu melindungi atau “terlalu mencintai” anaknya. Orang yang menunjukkan sikap yang menyenangkan yang berlebihan atau terlalu baik boleh jadi berusaha menutupi kebencian dan perasaan-perasaan negatifnya.
j.          Identifikasi (Identification)
Meskipun identifikasi adalah bagian dari proses perkembangan dimana anak-anak mempelajari peranan gender, hal ini juga menjadi reaksi yang defensif. Identifikasi dapat mempertinggi harga diri dan melindungi seseorang dari kegagalan.
k.        Kompensasi (Compenzation)
Kompensasi terdiri dari penutupan kelemahan yang dirasakan atau pengembangan sifat-sifat positif tertentu untuk mengejar keterbatasan-keterbatsan.
(Corey, Gerald 2003: 18-20)

8.         Perspektif Teoritis Gangguan Kecemasan
Gangguan – gangguan kecemasan merupakan suatu laboratorium teoretis. Banyak teori tentang tingkah laku abnormal dikembangkan dengan pemikiran tentang gangguan – gangguan ini, di antaranya :
a.         Perspektif Psikodinamika
 Dari perspektif, kecemasan adalah suatu sinyal bahaya bahwa implus-implus yang mengacam yang sifatnya seksual atau agresif (membunuh) melekat ke taraf kesadaran. Misalnya , pada phobia difungsikan mekanisme proyeksi (projection) dan displacement. Suatu reaksi phobia dipercaya melibatkan proyeksi dari implus – implus yang mengancam yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri dan dipindahkan ke objek phobia. Dengan menerapkan model psikodiamika pada gangguan – gangguan kecemasan lainnya, dapat membuat hipotesis bahwa dalam gangguan kecemasan menyeluruh, konflik – konflik tak sadar tetap tinggal tersembunyi, tetapi kecemasan merembes ke taraf kesadaran. Obsesi dipercaya sebagai representasi dari merembesnya impuls – impuls tak sadar kedalam kesadaran, dan kompulsi adalah tindakan yang membantu untuk membuat implus – implus ini tetap tetepresi.
b.        Perspektif Belajar
Dari perspektif belajar, kecemasan dipeloleh melalui proses belajar, terutama melalui conditioning dan belajar observasional. Menurt model klasik O. Hobart Mowrer (1948) model dua faktor / suatu model teoretis yang menjelaskan perkembangan reaksi phobia atas classical conditioning dan operant conditioning tercakup dalam pembentukan phobia, yaitu kelegaan dari kecemasan menguatkan penghindaran stimuli yang menimbulkan ketakutan.  Komponen takut pada phobia diyakini diperoleh melalui classical conditioning. Pembentukan gangguan panik mungkin merupakan suatu bentuk dari classical conditioning (Bouton,Mineka, dan Barlow, 2001). Model ini, disebut prepared conditioning, mensugestikan bahwa evolusi lebih mendukung kelangsungan hidup dari nenek moyang manusia yang secara genetis mempuyai predisposisi untuk memperoleh rasa takut terhadap objek – objek yang mengancam, seperti binatang – binatang besar , ular, dan lain – lain.
c.         Perspektif kognitif   
Faktor – faktor kognitif  dalam gangguan kecemasan dari perspektif kognitif adalah pada peran dari cara pikir yang terdistorsi dan disfungsional yang mungkin memegang peran pada pengembangan gangguan – gangguan kecemasan, seperti :
1)        Prediksi berlebihan terhadap rasa takut.
2)        Keyakinan yang self –defeating atau Irasional.
Pikiran – pikiran self-defeating dapat meningkatkan dan mengkekalkan gangguan – gangguan kecemasan dan phobia. Bila berhadapan dengan stimulus pembangkit kecemasan, orang mungkin berpikir, “Saya harus keluar dari sini,” atau “jantung saya akan meloncat keluar dari dada saya”(Meichenbaum & Deffenbacher,1988).
3)        Sensitivitas berlebihan terhadap ancaman.
Suatu sentivitas berlebihan terhadap sinyal ancaman adalah ciri utama dari gangguan – gangguan kecemasan (Beck & Clark,1997). Seperti menaiki elevator atau mengendarai mobil melalui jembatan.
4)        Sensitivitas kecemasan .
Sensitivitas kecemasan ( anxiety sensitivity ) biasanya didefinisikan sebagai kekuatan terhadap kecemasan dan simtom – simtom yang berkait dengan kecemasan (zinbarg dkk,2001).
5)        Salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh.
Para teoretikus kognitif menunjukkan peran dari salah interpretasi yang membawa bencana, seperti peran palpitasi jantung, pusing tujuh keliling, kepala enteng dalam eskalasi dari simtom – simtom panik menjadi serangan panik parah ( Clark,1986; Craske &Rapce, 1996). Sinyal – sinyal tubuh ini dapat muncul sebagai konsekuensi dari hipervetilasi yang tidak terdeteksi , perubahan suhu , atau reaksi terhadap obat tertentu atau perubahan tubuh yang wajar – wajar saja yang biasanya tidak dirasakan oleh banyak orang.
6)        Self-efficacy yang rendah.
Bila anda percaya anda tidak punya kemampuan untuk menanggulangi tantangan – tantangan penuh stress yang anda hadapi dalam hidup. Anda akan merasa makin cemas bila anda berhadapan dengan tantangan – tantangan itu.  Orang dengan self-efficacy yang rendah  ( kurang keyakinan pada kemampuan untuk melaksanakan tugas -  tugas dengan sukses) cenderung untuk berfokus kepada kekuatan yang dipersepsikannya.
d.        Perspektif biologis
1)        Faktor – faktor genetik.
Faktor – faktor genetis tampak  mempunyai peran penting dalam perkembangan gangguan – gangguan kecemasan, termasuk gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif - kompulsif, dan gangguan –  gangguan phobia.(APA,2000; Gorman dkk,2000; Hettema, Neale & Kendler,2001; kindler dkk,2001)
2)        Neurotransmiter.
Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada reaksi kecemasan, termasuk gamma aminobutyric acid (GABA). GABA adalah neurotransmiter yang inbitori, yang berarti merendahkan aktivitas berlebih dari sistem saraf dan membantu untuk meredakan respons-respons stres (USDHHS,1999). Bila aksi GABA tidak adekuat, neuron-neuron dapat berfungsi berlebihan, kemungkinan menyebabkan kejang – kejang. Bahwa obat anti kecemasan yang disebut benzodiazepine, yang mencakup valium dan Librium yang sangat terkenal, membuat reseptor GABA menjadi sensitive, dengan demikian meningkatkan efek menenangkan (inhibitori) dari respon GABA menjadi lebih sensitif, dengan demikian meningkatkan efek menenangkan (inhibitori) dari GABA (Zorumski & Isenberg,1991).
3)        Aspek – aspek biokimia pada gangguan panik
                                                              i.      Komponen fisik yang kuat pada gangguan panik telah membawa beberapa teorikus untuk berspekulasi bahwa serangan – serangan panik mempunyai dasar biologis, kemungkinan melibatkan sistem alarm yang disfungsional di otak (Glass,2000). Fakta bahwa serangan panik sering timbul tanpa sebab, sepertinya mendukung keyakinan bahwa serangan – serangan ini dipicu oleh biologis. Meskipun demikian, adalah mungkin bahwa sinyal yang menimbulkan banyak serangan panik mungkin bersifat internal, melibatkan perubahan – perubahan pada sensasi tubuh, dan bukan suatu yang bersifat eksternal. Perubahan – perubahan pada sinyal fisik, dikombinasi dengan pikiran kata strofik, dapat menyebabkan membumbungnya kecemasan yang terkulminasi menjadi serangan panik yang sebesar – besarnya. 
4)        Aspek – aspek biologis dari ganguan obsesif – kompulsif.
Model biologi lain akhir – akhir ini mendapat perhatian mengatakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif dapat melibatkan keterangsangan yang meninggi dari apa yang disebut sebagai sirkuit cemas (warry circuit), suatu jaringan neural di otak yang ikut serta dalam memberikan sinyal bahaya.

C.      Ujian
1.         Pengeetian Ujian
                 Ujian adalah suatu kegiatan yang mutlak dilaksanakan dalam rangka megukur penguasaan materi yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu. (Djamarah, Syaiful Bahri. 2002: 126). Ujian yang dimaksud dalam penelitin ini adalah ujian kenaikan kelas. Didalam ujian itu terdapat empat kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi siswa, yaitu penilaian, pengukuran, pengujian dan evaluasi. Penilaian merupakan istilah umum yang digunakan dalam mengukur metode yang digunakan dalam menilai kemampuan siswa. Pengukuran dapat diklsifikasikan menjadi dua, yaitu pengukuran kualitatif dan pengukuran kuantitatif. Pengukuran kualitatif biasanya dinyatakan dengan dengan huruf yaitu A (amat baik), B (baik), C (cukup) dan K (kurang), sedangkan pengukuran kuantitatif dinyatakan dalam bentuk angka. Pengujian merupakan kegiatan yang bisanya dilaksanakan dengan cara memberikan ujian kepada siswa seperti ulangan kenaikan kelas. Evaulasi adalah penilaian yang dilakukan secara sistematik tentang manfaat suatu objek. Obejk evaluasi merupakan program yang bnyak memiliki dimensi seperti bakat, minat, keterampilan, sikap, kreativitas serta kemampuannya.
                 Berdasarkan penjelasan di atas  maka dapat disimpulkan bahwa ujian merupakan  proses evaluasi siswa  mengenai pengetahuan, kemampuan serta kecerdasannya dalam menjalani pendidikan di sekolah sebagai akibat dari kegiatan proses belajar siswa.

2.         Persiapan Menjelang Ujian
                 Dalam menghadapi masa ujian, terutama sebulan terakhir menjelang ujian, Anda perlu mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan masalah perbaikan-perbaikan untuk mengingat kembali bahan-bahan yang telah dipelajari dengan melakukan sebagai berikut:
a.         Membaca ulang kembali baik catatan pelajaran maupun rangkuman-rangkuman.
b.        Memperbaiki catatan, menyempurnakan, dan memberi garis-garis bawah, atau tanda-tanda  lainnya.
c.         Membuat ikhtisar yang lebih praktis, yang mudah untuk diingat
d.        Organisasilah bahan-bahan pelajaran tersebut, artinya susunlah dalam pikiran catatan yang telah dibaca tersebut.
                 Tegasnya membaca kembali, memperbaiki catatan, membuat ikhtisar, dan menyususn pengetahuan yang lengka, akhirnya tinggal menghafal. Sedangkan seminggu menjelang ujian dimulai, yang Anda perlukan adalah sebagai berikut:

a.         Mengatur waktu sebaik-baiknya, belajar, istirahat, olahraga ringan, makan, dan tidur.
b.        Membuat rencana belajar yang tepat, efektif dan efesien.
c.         Setiap 45 menit belajar agar diselingi istirahat 15 menit.
d.        Tidur yang cukup, karena apabila kurang tidur, badan terasa lelah dan otak kurang mampu berpikir.
(Djamarah, Syaiful Bahri. 2002: 127-128)
























III.          KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A.      Kerangka Berpikir


Kecemasan siswa terhadap ujian sekolah
Siswa yang tidak siap mengahadapi ujian cenderung akan gugup, khawatir.
Aspek-aspek kecemasan:
1.    Kekhawatiran
2.    Emosionalitas
3.    Mengalami gangguan dan hambatan dalam mengerjakan soal.

Aspek tersebut akan muncul  akibat kecemasan yang dialami siswa
Teknik Systematic Desensitizitation, langkah :
1.       Relaksasi
2.       Pengembangan hirarki kekhawatiran
3.       Penggunaan desensitisasi sistematik
Siswa akan merasa rilkes dan tidak akan merasa tegang lagi dan cemas lagi, gugup dan khawatir.
Ujian merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilaksanakan dalam mengukur penguasaan materi yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu. Ada siswa yang siap untuk mengahadapi ujian tersebut dan ada pula yang tidak siap untuk mengahadapi ujian tersebut. Siswa yang tidak siap tersebut cenderung akan khawatir dan gugup ketika mengikuti ujian tersebut maka secara tdak langsung akan menimbulkan kecemasan yang ditandai adanya aspek-aspek kecemasan pada siswa tersebut seperti gugup, khawatir, dan tingkah laku yang dihasilkan juga akan tampak seperti gelisah.
Salah satu teknik yang bisa membantu siswa dalam mengatasi kecemasan adalah teknik systematic desensitization dengan menggunakan metode relaksasi, yang mempunyai tiga tahapan yaitu tahapan relaksasi, tahapan pengembangan hirarki kekhawatiran,dan penggunaan teknik systematic desensitization. Dengan menggunakan teknik ini setidaknya dapat membantu siswa mengurangi kecemasan yang dialaminya sehingga siswa menjadi rileks dan santai dalam menghadapi ujian sekolah.


















B.       Hipotesis

Hipotesis  penelitian/ kerja (Ha) menyatakan adanya hubungan antara variabel x dan variabel y, sedangkan hipotesis nol (Ho) tidak ada hubungan antara variabel x dan variabel y, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.         Hipotesis Penelitian/Kerja (Ha)   : adanya perbedaan tingkat presentasi kecemasan siswa  sebelum diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization dan sesudah konseling individual.
2.         Hipotesis Nol (Ho)                       : Tidak ada perbedaan tingkat presenatasi kecemasan siswa sebelum diberikan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization dan sesudah konseling individual

IV.          METODE PENELITIAN
A.      Rancangan Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. (Iskandar, Zainun. 2005: 77). Metode penelitian ilmiah cara kerja yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian. (Fathoni, Abdurrahmat. 2006: 99). Selanjtnya untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis, diperlukan metode penelitian. Untuk itu di bagian ini perlu ditetapkan metode penelitian apa yang akan digunakan. (Sugiyono, 2008: 285)
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian eksperemen. Penelitian eksperemen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk ada tidaknya akibat dari sesuatu yang dikenakan pada subjek selidik, dengan kata lain penelitian eksperemen mencoba meneliti ada tidaknya hubungan sebab akibat. (Arikunto, Suharsimi. 2009: 207). Penelitian ini menggunakan rancangan pre-eksperemental desain, dengan bentuk desain Intact-Group Comparison, yaitu desain ini terdapat satu kelompok yang digunakkan untuk penelitian, tetapi dibagi menjadi dua, yaitu setengah kelompok untuk eksperemen ( yang diberi perlakuan) dan setengah untuk kelompok kontrol (yang tidak diberi perlakuan). (Sugiyono, 2008: 75)
Secara garis besar paradigma penelitiannya dapat digambarkan sebagai b


Keterangan :
   : Hasil pengukuran setengah kelompok yang diberi perlakuan
   : Hasil pengukuran setengah kelompok yang tidak diberi perlakuan

B.       Variabel Penelitian
            Menurut Y. W Best yang disunting oleh Sanpiah Faisal dalam (Hadi, Amirul dan Haryono, 1998: 204-205) variabel penelitian adalah kondisi-kondisi atau serenteristik-serenteristik yang oleh peneliti dimanipulasikan, dikontrol atau diobservasi dalam satu penelitian. Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud menjelaskan bahwa yang dimaksud variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan dijadikan objek pengamatan penelitian. Variabel dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu variabel bebas atau variabel independen (x) dan variuabel terikat atau variabel dependen (y). Variabel bebas adalah kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik yang oleh peneliti dimanipulasi dalam rangka untuk menerangkan hubungannya dengan fenomena diobservasi. Sedangkan variabel terikat adalah kondisi atau karakteristik yang berubah atau muncul ketika peneliti mengintoduksi, mengubah atau mengganti variabel bebas.

1.         Variabel Bebas (x) : Teknik (systematic desensitization)
2.         Variabel terikat (y) : Kecemasan

C.      Tempat, Subjek dan Objek Penelitian
1.         Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 bulan, mulai dari bulan Februari 2012 samapai dengan bulan Mei 2012.
2.         Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di SMA Negeri 1 Banjarmasin yang beralamat di jalan Mulawarman No. 25, telepon (0511) 3353467, merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas ynag terfavorit.
Adapun yang menjadi alasan pemilihan tempat penelitian tersebut, berdasarkan obervasi langsung melalui PPL-BK peneliti melihat adanya kecemasan yang di alami siswa pada kelas X ketika mengikuti ulangan yang ditunjukkan dengan tingkah laku gelisah dan khawatir.
3.         Subyek Penelitian
Subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variabel penelitian melekat. (Suharsimi Arikunto, 2009: 99)
Berdsarkan penjelasan di atas yang akan menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Banjarmasin.
4.         Obyek Penelitian
Objek penelitian dapat berupa manusia, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, atau peristiwa-peristiwa. (Hadeli, 2006: 68)
Berdasarkan penjelasan di atas yang akan menjadi objek penelitian ini adalah kecemasan siswa SMA Negeri 1 Banjarmasin kelas X terhadap ulangan semester.




D.      Jenis dan Sumber Data
1.         Jenis Data
a.         Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian dilakukan. (Siregar, Syofian. 2010: 128)
Jadi data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa hasil pengukuran skala kecemasan dari peneliti terdahulu (Rahmayanti, Liny. 2011: ), dimana peneliti telah meminta ijin persetujuan dari Liny Rahmawati untuk digunakan sebagai alat pengukuran dalam penelitian ini.
b.        Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diterbitkan atau digunakan oleh organisasi yang bukan pengolahannya. (Siregar, Syofian. 2010: 128)
Jadi data sekunder dari penelitian ini adalah data pendukung mengenai subjek yang akan diteliti melalui dokumen-dokumen yang diperoleh dari pihak sekolah SMA Negeri 1 Banjarmasin, data pribadi siswa dan wawancara langsung kepada konselor mengenai kecemasan siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin terhadap ulangan semester.
2.         Sumber Data
Sumber data adalah tempat, orang atau benda  di mana peneliti dapat mengamati, bertanya atau membaca tentang hal-hal yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. (Arikunto, Suharsimi. 2009: 99)
a.         Responden
Responden adalah orang yang dapat memberikan jawaban atau keterangan tentang variabel. (Arikunto, Suharsimi. 2009:99). Berdasarkan penjelasan tersebut yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1Banjarmasin.

b.        Dokumen
Dokumentasi dalam penelitian ini adalah seluruh data tentang siswa SMA Negeri 1 Banjarmasin.

E.       Teknik Pengumpulan Data
1.         Populasi
Populasi diartikan sebagai wilayah generalsi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. (sugiyono, 2008: 215).
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atapun pengukuran kuantitatif ataupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua nggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. (Sudjana, 2005: 6)
Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah orang yang ada pada objek atau subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek yang akan diteliti itu. (Sugiyono, 2007: 61). Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. (Arikunto, Suharsimi. 2006: 130).
Alasan saya memilih kelas X adalah karena siswanya yang baru memasuki sekolah tersebut dan siswanya juga baru beradaptasi dengan gaya belajar yang sekolah tersebut terapakan sehingga tidak jarang ada siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan gaya belajar yang diterapakan sehingga akan menimbulkan kecemasan, serta siswa tersebut baru yang menginjak perubahan perkembangan diri yang mana dari fase ke fase atau masa transisi dari masa anak-anak ke masa remaja awal yang mengalami perubahan, sehingga tidak jarang di masa tersebut penuh gejolak dan kecemasan terhadap tanggung jawabnya sebagai remaja awal.  

Tabel 1
Populasi penelitian
No.
Kelas
Jumlah
1.
X – 1
33
2.
X – 2
31
3.
X – 3
32
4.
X – 4
32
5.
X – 5
32
6.
X – 6
33
7.
X – 7
25

Jumlah
218



Berikut ini  kriteria inklusi (ciri-ciri sampel yang ditetapkan peneliti sebelumnya) yang dijadikan sampel penelitian :
a.         Kelas X1, X2, X3, X4, X5, X6 dan X7. Peneliti melakukan pengumpulan data dari konselor sekolah mengenai kecemasan siswa. Berdasarkan dari wawancara (data sekunder) dengan Liny (peneliti terdahulu) Rahmayanti yang pernah melakukan penelitian tentang kecemasan di sekolah tersebut bahwa siswa kelas X1, X2, dan X3 memiliki permasalah kecemasan lebih berat dibandingkan dengan kelas lainnya.


b.        Kelas X1, X2 dan X3 akan dilakukan pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan skala kecemasan (Rahmayanti, Liny. 2011)


c.         Setelah diperoleh mengenai hasil tingkat kecemasan  siswa kelas X1, X2 dan X3, menunjukkan siswa yang mendapatkan tingkat kecemasan sangat tinggi.
.


d.        Sampel yang diambil hanya siswa yang memiliki tingkat kecemasan yang sangat tinggi yaitu 30 orang.


e.         Di peroleh sampel yang kemudian dilakukan wawancara terhadap sampel tersebut

2.         Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. (Sugiyono, 2007: 62). Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel. (Arikunto, Suharsimi. 2006: 131). Dalam penelitian ini yang di ambil adalah jumlah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 1 Banjarmasin yang berjumlah 218 siswa yang terdiri dari tujuh kelas yang kemudian ditetapkan sesuai dengan krteria inklusi di atas. Alasan saya memilih kelas X adalah karena siswanya yang baru memasuki sekolah tersebut dan siswanya juga baru beradaptasi dengan gaya belajar yang sekolah tersebut terapakan sehingga tidak jarang ada siswa yang masih belum bisa beradaptasi dengan gaya belajar yang diterapakan sehingga akan menimbulkan kecemasan, serta siswa tersebut baru yang menginjak perubahan perkembangan diri yang mana dari fase ke fase atau masa transisi dari masa anak-anak ke masa remaja awal yang mengalami perubahan, sehingga tidak jarang di masa tersebut penuh gejolak dan kecemasan terhadap tanggung jawabnya sebagai remaja awal.  Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X1, X2, dan X3
Tabel 2
Sampel Penelitian
No.
Kelas
Sampel

1.
X – 1
32

2.
X – 2
31

3.
X – 3
32


Jumlah
95



Untuk mendapatkan sampel penelitian, peneliti memiliki pertimbangan tertentu sesuai dengan inklusi sebagai berikut :
Tahap I
Melaksanakan pretest dengan menbagikan skala pengukuran kecemasan (Rahmayanti, Liny. 2011) kepada siswa kelas X1, X2, dan X3.

Tahap II
Dari hasil pengukuran skala kecemasan siswa kelas X1, X2, dan X3, siswa yang tingkat kecemasan  sangat tinggi akan dijadikan sampel.


Tahap III
Berdasarkan dari tahap II maka diperoleh sampel yang kemudian akan dilakukan wawancara terhadap sampel tersebut.

Tahap IV
Mengambil sejumlah siswa untuk diberikan konseling yaitu sampel yang diberi perlakuan dan sampel yang tidak diberi perlakuan

3.         Pelaksanaan Penelitian
a.         Tahap Pre-Test
Dalam tahap ini peneliti melakukan pengukuran dengan membagikan instrumen skala kecemasan (Rahmawati, Liny. 2011) kepada siswa kelas X1, X2, dan X3 sebelum perlakuan.


b.        Tahap Eksperimen/Tahap Konseling
1)        Tahap I Relaksasi
a)      Tarik nafas dalam-dalam dan tahan selama 10 detik kemudian lepaskan. Biarkan lengan Anda dalam posisi di atas paha atas lepas begitu saja.
b)      Angkat tangan Anda kira-kira separuh sofa (atau pada sandaran kursi) kemudian bernafaslah secara normal. Letakkan tangan Anda di atas sofa
c)      Sekarang pegang lengan Anda lalu kepalkan dengan kuat. Rasakan ketegangannya dalam hitungan  sampai tiga dan pada hitungan yang ketiga  letakkan tangan Anda.
d)     Angkat tangan Anda kembali, tekuk jemari Anda ke belakang (ke arah tubuh Anda). Sekarang letakkan tangan Anda dan tenanglah.
e)      Angkat tangan Anda sekarang, letakkan kemudian rileks
f)       Sekarang rentangkan lengan Anda dan tegangkan otot bisep anda yakinlah bahwa Anda bernafas normal setelah itu rileks.
g)      Putar kepala anda ke kanan, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi pertama.
h)      Putar kepala anda ke kiri, tegangkan leher anda lalu rileks dan kembali ke posisi pertama.
i)        Bengkokkan kepala sedikit ke belakang, tahan lalu kembali ke posisi semula.*
j)        Tunduk kepala kebawah sampai hampir menyentuh dagu menyentuh dada, tahan kemudian rileks dan kembali ke posisi semula.*
k)      Tarik nafas dalam-dalam, tahan, hembuskan keluar kemudian rileks (perhatikan perasaan lapang saat kamu menghembuskan nafasmu)
l)        Sekarang laayangkan pikiran anda ke suasana yang paling anda suka dan mudah membawa anda ke suasana tenang. Nikmati , betapa anda bahagia berada dalam suasana itu.
m)    Rasakan bahwa ketenangan telah menjalar dan merasuk ke seluruh tubuh dan jiwa anda
n)      Setelah beberapa saat bukalah mata anda, dan tetap rasakan suasana nyaman dan ketenangan diri anda.
Catatan : Diadapatasi dari Jacobson (1938), Rimm (1967, komunikasi pribadi), dan Wolpe dan Lazarus 1966
*Konseli jangan dipaksa untuk membengkokkan lehernya ke segala arah baik kedepan maupun kebelakang.
(Fauzan, Lutfi. 2008: 51-54)
2)        Tahap II Pengembangan Hierarki Kekhawatiran
Dalam penyelasaian wawancara awal dan lama relaksasi para konselor mulai merencanakan hierarki kekhawatiran dengan konseli untuk setiap kecemasan yang diketahui. Hierarki ini didasarkan pada kecemasan yang telah disepakati konselor dan konseli sebagai perubahan yang diinginkan dan treament yang dilakukan konselor. Pada sesi akhir relaksasi yang pertama, konseli diberi kartu indeks sistem pencatatan perlakuan dan diminta untuk datang kembali mengisi kartu tersebut yang masing-masing berisi gambaran yang menyebabkan kecemasan sampai tingkat tertentu.
3)        Tahap III Penggunaan Sistematik Desensitisasi Yang Tepat
Tahap desensitisasi pertama  dimulai dengan membiarkan konseli menenangkan dirinya di sofa atau kursi reclining kira-kira 3-5 menit. Selama waktu tersebut konselor menganjurkan konseli bahwa ia telah lebih rileks dan telah mencapai tingkat rilaksasi yang lebih dalam lagi.konseli juga diminta untuk mengindikasi, dengan mengankat jari telunjuk tangannya, dis saat ia mencapai kondisi sangat tenang dan nyaman. Setelah konseli memberi syarat konselor memintanya untuk memvisualisasikan  beberapa suasana kecemasan yang di alami. Konselor meminta membayangkan tiap-tiap suasana yang jelas dan nyata. Jika konseli merasakan sedikit lebih cemas atau tegang ketuika dia membayangkan suasana tertentu, dia akan diberitahu secaepatnya dengan jari tangan. Pada titik ini konselor meminta konseli untuk mengindikasikan dengan menggunakan jari telunjuk jika dia masih merasa sangat tenang dan rileks. Jika konseli memberi tanda konselor menghadirkan pengendali situasi. Setelah situasi terakhir disajikan pada tahap tertentu, konselor meminta konseli untuk tetap rileks beberapa saat. Kemudian konselor memulai fase terakhir dengan mengatakan : “Tenang saja, rasakan perasaan nyaman dan senang. Saya ingin anda mempertahankan kondisi ini sampai saya hitung sampai hitungan ke lima. Ketika saya sampai pada hitungan ke lima saya ingin kamu membuka mata dan merasaklan perasaan sangat tenang dan senang. (jeda) Satu rasakan perasaan tenang, Dua tenang, Tiga sangat gembira empat dan lima”. (Fauzan, Lutfi. 2008: 24)


F.       Instrumen Penelitian
1.         Bahan Perlakuan
Bahan perlakuan merupakan bentuk panduan pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization) buat konselor yang berwujud naskah tulisan yang disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan teori dari (Fauzan, Lutfi. 2008: 26-34) dan (Willis, Sofyan S. 2004: 72). Naskah ini berisi panduan prosedur pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization) yang meliputi tiga tahapan, yaitu (1) tahap latihan relaksasi, (2) pengembangan hierarki kekhawatiran, dan (3) penggunaan systematic desensitization yang tepat. Masing-masing tahapan meliputi aspek penjelasan mengenai langkah-langkah pelaksanaan konseling. Panduan disusun menjadi dua komponen, yaitu (1) pendahuluan, dan (2) tahapan pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization). Komponen pendahuluan berisi tentang kecemasan siswa dan fakta-fakta yang mendukung timbulnya kecemasan pada siswa yang berbentuk perilaku yakni siswa mengalami kegelisahan dan ketidaktenangan. Sehingga penanganan permasalah ini perlu segera diatasi dengan memberikan layanan konseling individual (dengan menggunakan tekniuk systematic desensitization). Komponen kedua tahapan pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization) yang setiap komponen terdiri dari tujuan dan prosedur pelaksanaan. Komponen tujuan berisi mengenai rumusan secara operasional tentang apa yang mau dicapai dariproses tahapan konseling. Komponen prosedur pelaksanaan berisi menganai langkah-langkah yang harus dilaksanakan konselor dalam proses konseling secara sistematis. Panduan pelaksanaan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization yang disusun dan akan dikonsultasikan dengan dosen pembimbing untuk diberikan bahan masukkan yang dijadikan sebagai bahan revisi selanjutnya dan akan  divalidasi dilakukan oleh orang yang lebih ahli.
a.         Validasi Ahli
Setelah tersusun panduan pelaksanaan konseling individual (dengan menggunakan teknik systematic desensitization) dan sebelum digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu akan dilakukan validasi ahli dari penilai ahli (expert jugment). Untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif maka disusun dalam bentuk skala penilaian. Skala penilaian ini terdiri dari 8 item, dengan skor 1-5 yang dapat dilihat pada tabel berikut :
















Tabel 3
Hasil Validasi Ahli
Panduan Pelaksanaan Konseling Individual Systematic Desensitization
NO
ASPEK YANG DINILAI
HASIL PENILAIAN
NILAI           
URAIAN
1.
Kejelasan konsep konseling dengan menggunakan teknik-teknik systematic desensitization.
5
Sangat jelas
2.
Keoperasionalan rumusan tujuan dari setiap tahap
4
Operasional
3.
Ketepatan konselor untuk membangun hubungan baik dengan konseli
5
Sangat tepat
4.
Keruntutan langkah-langkah pelaksanaan konseling systematic desensitization.
5
Sangat  runtut
5.
Kejelasan langkah-langkah pelaksanaan konseling dalam setiap tahap.
5
Sangat jelas
6.
Kesesuaian pengaturan waktu setiap pertemuan
4
Sesuai
7.
Ketepatan dan kejelasan penggunaan teknik-teknik systematic desensitization yang digunakan dalam setiap tahap
5
Sangat jelas
8.
Kejelasan peran konselor
5
Sangat jelas
9.
Kejelasan peran konseli
5
Sangat jelas
10.
Kejelasan konselor mengakhiri konseling
5
Sangat jelas

Jumlah
48



Berdasarkan hasil validasi ahli di atas dapat disimpilkan bahwa kejelasan peran konselor sangat jelas, kejelasan rumusan tujuan dari setiap tahap sangat jelas, kejelasan langkah-langkah pelaksanaan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization pada setiap tahapan sesuai, kejelasan konsep konseling individual dengan teknik systematic desensitization sangat jelas, ketapatan konselor dalam menciptakan hubungan dengan konseli sesuai, pengaturan waktu setiap pertemuan sesuai dan ketepatan mengakhiri proses konseling  juga sesuai. Berdasarkan aspek-aspek  yang dinilai mendapat skor 48, maka skor tersebut akan dinilai oleh yang ahli apakah panduan teknik layanan konseling individual dengan menggunakan teknik systematic desensitization layak untuk digunakan.
2.         Instrumen Pengumpulan Data
Untuk melakukan pengukuran, peneliti menggunakan instrumen dari penelitian terdahulu. Instrumen yang digunakan adalah skla kecemasan (Rahmayanti, Liny. 2011) yang dimana peneliti telah meminta persetujuan dari (Rahmayanti, Liny) untuk digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini.
a.         Skala Kecemasan
Skala kecemasan diadaptasi dari Liny Rahmayanti (2011), berdasarkan aspek kecemasan dengan 3 sub variabel, yaitu kecemasan realistik, kecemasan neorutik, dan kecemasan moral. Adapun indikator dari masing-masing subvariabel meliputi: (1) kecemasan realistik: terhadap orang-orang sekitar, terhadap benda-benda, terhadap guru, dan terhadap teman, (2) kecemasan neorutik: kedaan fisik dan kedaan psikis, (3) kecemasan moral: merasa berdosa. Setiap item pertanyaan terdiri dari 4 kemungkina jawaban yaitu: (1) skor empat untuk jawaban sangat setuju (ST), (2) skor tiga untuk jawaban setuju (S), (3) skor dua untuk jawaban tidak setuju (TS), dan (4) skor satu untuk jawaban sangat tidak setuju (STS)
b.        Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Instrumen yang digunakan merupakan instrumen penelitian terdahulu yang validitas dan reliabilitasnya di uji oleh peneliti sendiri. Instrumen telah diuji validitasnya dengan r hitung lebih besar dari r tabel (0, 349 diambil dari tabel nilai product moment dengan jumlah N= 32 dan taraf kepercayaan 95%). Instrumen telah diuji reliabilitasnya dengan memiliki nilai Alpha Cronbach sebesar 0.6754 lebih besar dari r tabel 0, 349 pada taraf kepercayaan 95%.

G.      Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah pemberian perlakuan yaitu konseling dengan teknbik systematic desensitization, dilakukan pegukuran dengan menggunkan skala kecemasan, yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan tingkat kecemasan pada diri siswa dibandingkan dengan sebelum diberi perlakuan. Data yang diperoleh kemudian di analisis dengan menggunkan analisis varians (annova). (Arinkunto, Suharsimi. 2009: 429)



Untuk menggolongkan aspek kecemasan ke dalam katagori rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi, digunakan teknik perhitungan presentase skor dengan cara menjumlahkan skor-skor yang diperoleh dan dibagi dengan jumlah item, kemudian dikalikan 100% (Arikunto, Suharsimi 2006: 238). Skala kecemasan mempunyai 23 butir pertanyaan. Untuk mengukur aspek kecemasan dengan gradasi 1 sampai 4, sehingga untuk menginterpretasikan dapat dibuat presentasi skor dengan menjumlahkan skor yang diperoleh dan bagi dengan jumlah item kemudian dikalikan 100%. Maka presentase skor dapat di masukkan kedalam katagori : rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi, digunakan kriteria perhitungan sebagai berikut :
1.         Presentase maksimal                    :
2.         Presentase minimal                       :
3.         Rentang                                        : 100% - 25% = 75%
4.         Panjang kelas interval                  : 75% : 4 = 18,75%

Dengan panjang interval 18,75% dan presentase minimal 25% maka dapat dubuat kriteria sebagai berikut:
Tabel 5
Interpretasi Presentase Skor Kecemasan
No.
Interval (dalam %)
Katagori
1.
25 – 43,75
Rendah
2.
43,76 – 62,51
Sedang
3.
62,52 – 81,27
Tinggi
4.
81,28 – 100
Sangat Tinggi
















H.      Jadwal Penelitian
Berikut ini adalah jadwal penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan waktu yang diperlukan oleh peneliti untuk mengadakan poenelitian.
Tabel 4
Jadwal Penelitian
No.
.
Kegiatan
Februari 2010
Maret 2010
April 2010
Mei 2010
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1.
Tahap persiapan pembuatan proposal

x

x

X

x












2.
Tahap pengumpulan data





x

x

x

x








3.
Tahap pengolahan data









x

x

x

x




4.
Tahap penulisan laporan













x

x

x

x











I.          DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Asmani, Jamal Ma’mur. 2010. Panduan Efektif Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah. Yogyakarta : Divapress.
Artati, Y. Budi. 2010. Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA. Kalaten : Intan Pariwara
Corey, Gerald. 2003. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung : PT Refika Aditama
C, Gerald. 2006. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri, 2008. Psikologi belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta
Fauzan, Lutfi. 2008. Systematic Desensitization Prosedur Pelemahpekaan Berangsur Terhadap Gangguan Phobia dan Kecemasan. Malang : Universitas Negeri Malang
Fesit, Jeist & Fesit, Gregory J. 2010. Teori Kepribadian (Theoris of Personality) Buku 1 Edesi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Fesit, Jeist & Fesit, Gregory J. 2010. Teori Kepribadian (Theoris of Personality) Buku 2 Edesi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta : AR-Ruz Media
Hadi, Amirul & Haryono. 1998. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia
Hall, Calvin S. 1995. Seks. Obsesi, Trauma, Dan Katarsis. Jakarta : Delapratasa
Hikmawati, Fenti. 2010. Bimbingan Konseling. Jakarta : Rajawali Pers
Http://akhmadsudrajat.Wordpress.com, diakses 16 maret 2011
Http:// Perawatpsikiatri.blagspot.com, diakses 24 desember 2010
Iskandar, Zainun. 2005. Metode Penelitian Bimbingan. Banjarmasin : Program Studi Bimbingan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat
Nurihsan, Achmad Juntika & Sudianto, Akur. 2005. Manajemen Bimbingan Dan Konseling Di SMA Kurikulum 2004. Jakarta : Grasindo
Rahmayanti, Liny, 2011. Analisis Kecemasan Siswa Dalam Menghadapi Ujian Sekolah Siswa Kelas X DI SMAN 1Banjarmasin. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
Rathus, Spancer A, dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilit 1 & 2. Jakarta : Erlangga
Siregar, Syofian. 2010. Statistika Deskriptif Untuk Penelitian. Jakarta : Rajawali Pers
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut & Kusmawati, Nila. 2008. Proses Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung : Trasito
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta : Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar & La Sulo, S. L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Tohirin. 2007. Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dan Madrasah (Berbsis Intelegensi). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori Dan Praktik. Bandung: Alfabeta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar